Bau Tikus!
Bau tikus di kamarku bertahan lebih lama
dari aku.
Kematian diperingati dan
bau tikus memperingati kekayaan
macam apa saja yang dicuri jaman ini
dan masa lalu.
Lemari-lemari menyimpannya, beras-beras
bercecer ke arah jam
yang mati kemarin sore.
Pria-pria jelata ini merambati dinding dan
fotoku,
membuat lubang dan menggali kesengsaraanku.
laki-laki dengan mata terik yang kehilangan
selarik garis coklat
untuk melihat warna dunia
Bau tikus mati lebih kuat dari ingatanku
yang seumur ini selalu kembali ke kamar
dan kamarku lebih bau dari tikus
yang membaukannya.
2008
airmata gula
pemabuk kecil
mengisi cawanretak
dengan tanah
kubur,
tanpa nisan tegak,
ia teguk airmata malam
seperti penyair
mengaduk buku tanpa gula
miskin seperti
retakan
2008
[~~~]
Sungai mengalun
ke hilir kesimpulan
ketika lagunya
ditelan batu-batu
Yang syairnya
tenggelam
Air sungaiku
menghisap waktu
seperti rentang
tak terduga
Gemericik
intonasi
Tangan sang
sungai memetik musim
dalam dzikirnya
batu-batu
Menusuk liku yang
menyebrang
Ke dekat nyanyi
sungai
Merayap pemabuk
waktu
Memecah air
kaca-kaca
2008
makin hitam
mereka yang
menjalar seperti semut,
merampok
lumbung-lumbung ingatan
agar lumat, agar
jadi penghabisan
kembali ke lubang
kardus usang lumutan
langit ia
tadahkan,
diayak hujan
hari yang panjang
itu diteduhi getar mata curam
ingatan yang
direbut muncrat ke dinding malam
membanjarkan
kalimat, diuntai paragraf kehilangan
langitnya ia
tarik ke dalam jiwa makin hitam
mereka yang
menjalar seperti akar,
menyesap ingatan
dan air
untuk dijadikan
sup kenangan
dan makan malam
telah siap kehabisan
suara sejarah
2008
Waktu Ayah!
Waktu ayah
memanen duka,
Ladang-ladang
telah terbakar di samping hutan
Dan aku memandang
monyet-monyet tertawa di televisi
Sambil berdoa, ia
mohon masa depan tidak berkunjung
ke rumah rapuhnya
yang lebih lemah daripada kaki angsa mati
yang
kusembunyikan di bawah cemooh daun randu kering
Waktu ayah
mengantar masa depan pergi,
aku sekolah di
kaki-kaki cacing yang tertulis dengan kapur-kapur
Sambil kukubur
celana lusuh kena mencret
Tiba-tiba ia
datang ke penobatan anak-anak nakal
Mencaci matahari,
membenci ladang dan memaksaku menanam kembali air mata yang akan tumbuh
Di rumahnya yang
dirayapi sekian juta rayap tanah, aku dinobatkan
untuk tidak jadi
apa-apa
Ayah resah,
dukanya melampaui waktu yang kujemur
masa depan memang
pergi
melewatkan akar
harapannya yang ditanam di bawah bantalku
Bertahun-tahun
evolusi
sebatang anak
tumbuh di tengah yogya tua
rambut bacam
melambai, daun-daunnya lusuh
meliuk ke kanan
saat angin ke kiri,
meliuk ke kiri
saat angin lelah
menari di atas
bunga-bunga lampu
dan memagari diri
dengan lagu-lagu pop hambar
berayun dan
beriring memadu
ke pusaran
jantung yogya tua
kakinya berakar
menembus aspal
tangannya
merambati leher-leher yang khusuk memandang mawar merah
ia jadi semak
kulitnya dilumuri
kambium, tahun-tahun evolusinya
merubah matahari
jadi makanan bertahun-tahun evolusinya
2008
sepasang mata pelacur dan malamnya
larut mengemasi gelap pada dingin yang
serempak di ujung gang
detak sebagai malam dengan dua buah
tonggak,
satu titik air mata, dua kepunyaan tuan
pemilik tubuh retak
besama membantu angin menerbangkan
sayap-sayap jibril,
wajahnya menengadah pada bayangan seongok
panji reklame
sayup, tapi jelas pasti, nafasnya terbang
mendahului karnaval
derap ini begini sunyi dengan
pengorbanan-pengorbanan yang tumpah
sepasang payudara menemui rombongan
peziarah,
memastikan kelebatan-kelebatan cahaya itu
bukan jibril yang membenarkan letak sayapnya
malam sepasang mata pelacur mengepak-ngepak
seperti barisan kereta
dari kuda-kuda liar yang terbang, pada dada
jibril yang meregang
kata-kata liar menyerbu mata sepasang
pelacur dengan malamnya
2006
kubahmu
kureguk
angin jalannya
nunduk, seperti jelata remuk
mengampiri atap
daun pisang, duduk dengan khusuk
kugapai
anyirmu—doanya—rumahmu kuketuk
kubahmu kureguk,
dan kautambahkan jiwabusuk
assalamualaikum,
kata jelata yang
seperti angin
datangnya
merintih dalam dingin
mati, tenggelam
dipermainkan gelombang laut nasibmu
sepeti puisi;
kacau dan miskin
salamnya tak
terjawab, jiwanya tambah menderu
runtuh seperti
uban,
bikin tambah tua
saja
2008
maret
maret berakhir di
belakang hujan
malamnya basah,
tanggaltanggal patah
cahayanya diseret
keremangan
ke sudutsudut
gang—hilang
maret—kala itu
nyanyimu parau di
tengah tusukan malam
angin berbisik di
dadaku
bahwa kacakaca
menjerit
manusia ditikam,
manusia, tembang kematian
didendangkan
dengan minum
malam—menjeritjerit
di anggur hitam
tempat tuhan
disembunyikan
2008
Sepanjang
tahun!
Mawar mawar
tertancap di dada,
Mata menyusuri
seperti semak dan duri mengambil jiwaku
Yang digantung
laki-laki telanjang melampaui kehidupan
Baik kehidupan
baik maupun kehidupan buruk
Laki-laki
telanjang yang mengerang seperti batu
Menghabiskan
makan seperti meja menghidangkan koran
dan suara tangis
Sepanjang tahun!
Sepanjang duri dan semak mengisapku
Baik hujan ada di
luar maupun hujan di dalam
Waktu tatto
pertama tumbuh, daunnya menjalar ke anak-anak
Dan mawarnya,
mawarnya merah waktu mobil-mobil berhenti
Aku memetik
seperti tahun-tahun panen yang penuh duri
di tubuhnya yang
terlanjur bersemak
Aku tersesat
Sepanjang tahun!
Laki-laki telanjang berselonjor
Kehilangan celana
waktu malam, kehilangan laki-laki waktu siang
Sepanjang tahun!
2008
Inilah doanya
Sengatan busuk perutku,
Terasa hingga malam-malam yang akhir
Angin menyumbangku
Dengan keram dua puluh lima tahun yang
nadir
Di pipi-pipi sembab ibuku,
Kutanam benih-benih dalam suraman
malam-malam yang akhir
Inilah doanya, kata ibuku
menemukan dua puluh lima tahun umurku
2008
Ida dan Angga; sekunyuk
Ditelan mimpi. Busuk di dada, waktu
nyanyiannya berakhir jadi pencarian. Mencari lalu terus mencari, emper yang ini menggelatakkan
laki-laki selembar dengan jengah, emper yang ini membuang wanita berbau kotoran
yang merambat di hidung, dan emper emper berikutnya tak kau temukan ida dan
angga. Lalu, untuk apakah pencarian?
Malam sudah busuk kalau kau pikir mereka
juga membusuk di satu kehidupan yang bernafas dengan kaki-kaki menginjak udara.
Wajahnya lebih kusut dari malam kunyuk, yang rambutnya seperti delima cair
diaduk dengan galau. Kau tahu, ida telah mengalami yang terbusuk dari lengket
dan bacinnya seluruh selangkanganmu? Ida menghidupi segala sesuatu yang kita
lupakan, kemarin dan kemarinnya, lalu kemarinnya lagi dan seterus kemarin itu.
Ida busuk, angga lengket di kebusukan; yang
kau ciumi seperti mata-mata di tengah neon, dijatuhi laron. Kuingat saja,
sungainya membawa borok, jalannya mimpi-mimpi tergoyang-goyang angin, dan
nyanyinya sudah dibereskan pakai pentungan setan. Katanya dicium anjing jidat
licin yang bernanah buat berpikir di kelas tiga sd tapi sudah busuk kayak
sarjana. Sarjanaku belum jadi, bulum kulipati dengan mimpi yang terpotong
potong; lagi nyari ida, terusnya aku mencreti tiap emper biar tidak ida pakai
tidur, biar angga lari bareng liurnya setan-setan.
Ingat, ingat waktu ketemu ludah di pinggir
tangisan; ida sudah bosan memperkosa sekolah, orang bilang suaranya bobrok
kayak monyet dan jadinya jadi kotoran hidup yang meyala-nyala di jalan
dikiranya lampu merah tapi rambut awut-awutnya. Itu uang, itu uang! teriak
emaknya waktu nemu ida di kusut rambutku. Angga ndower kayak setan, katanya
ditarik lidah yang berbelah waktu pulang dari kali dan muntah-muntah mau mati.
Ndowernya anak kelas satu sd kayak mau mati, aku cuma bisa terus mencret.
Angin nyanyi, nyanyi di kamarku yang dihuni
tikus-tikus. Orang nggak ngerti, aku melewati keindahan.
[2008]
Tidak ada komentar
Posting Komentar