Untuk beberapa hal, aku benci sekolah. Aku benci dikekang. Dan aku tidak suka generalisasi yang terus berlangsung di dalamnya.

Aku benci kata-kata yang berakhiran –isme, yang berakhir dengan sebuah pendefinisian, cap. Aku tidak suka dikelompokkan, aku tidak suka dipandang sebagai anak baik. Dan kadang aku mual membaca bagaimana teori-teori itu muncul dari dalam buku; mereka yang merasa besar sesungguhnya hanya binatang rapuh.

Untuk banyak hal, aku juga masih benci sekolah. Aku punya dendam pribadi dengan kepala sekolah, aku tidak tahu bagaimana sekolah mendidik mereka. Yang jelas, semua koruptor besar dibesarkan di sekolah.

Sama seperti sebagian kecil orang-orang liar lain, aku lebih suka duduk-duduk di bawah pohon dan membayangkan sebuah apel jatuh; lalu tiba-tiba aku jadi penemu gaya gravitasi. Sekolah bisa dibeli, tapi duduk di bawah pohon dan menemukan gaya gravitasi adalah anugerah yang tidak keluar dari dalam buku.

Aku hanya pemarah kecil yang tidak mengerti mengapa orang-orang mencintai sekolah yang mengajarkan moralitas dari sederetan kalimat dan kata larangan. Mengapa kalian tidak duduk di luar dan menikmati angin yang telah melampaui banyak tempat dan banyak masa? Buku-buku yang baik tidak ditulis di dalam kelas.

Kelas hanyalah arena penundukkan. Semua pemberontakan ada di luar kelas, keluarlah. Dan yang jauh lebih jelas lagi, pekerjaan ada di luar kelas. Kesadaran dibangun di ladang-ladang, di pabrik-pabrik, di jalan-jalan, di emper toko, di bawah gerimis, di sebuah pelangi yang tak mungkin masuk kelas.

Orang-orang gila di luar sana menganggap sekolah yang dicantumkan dalam ijazah seperti nama tuhan; dan kalian mengeja namanya tiap kali datang ke kantor melamar kerja.