"The race to be first is old news, the race to make people angry seems to be new the new trend." Supernerdland


Masa depan jurnalisme semakin membutuhkan penegasan sejalan dengan perkembangan saat ini. Kehadiran media online merevolusi bagaimana jurnalis menghadirkan berita ke konsumen. Sayang, bukannya lebih baik, tool tersebut justru menjadikan jurnalisme kocar-kacir.

Keresahan di ruang-ruang media massa cetak bukan lagi soal tergerusnya kertas sebagai pegangan orang tiap pagi, melainkan pada kerusakan jurnalistik media online. Ini bukan upaya menjelek-jelekkan media online oleh praktisi media cetak, karena pada dasarnya pemain di kedua lapangan itu sama. Media cetak juga telah mengendalikan peranti online mereka, mengantisipasi semakin hilangnya konsumen koran.

Jurnalis dan pemilik media sadar, akses informasi kini begitu mudah dan murah, menjangkau lebih banyak audiens dan dengan kecepatan yang dihitung per detik. Bahkan portal berita berbasis website desktop pun kini tampak ketinggalan zaman, sejalan makin massifnya distribusi smartphone di masyarakat. Gelombang mobile...atau gelombang gawai dengan cepat mengubah kebiasaan manusia untuk lebih sering tertunduk, demi sebuah chat atau menekuni aplikasi penampil berita.

Masyarakat kini juga lebih mudah menyebarkan gosip, meyakini hoax sebagai kebenaran, dan turut menyebarluaskan berita bohong. Gagap etika berkomunikasi menjadikan orang dikenadalikan oleh keinginan berbagi yang tidak pada proporsinya. Kehadirang setan-setan di balik portal berita jadi-jadian semakin menyuburkan sikap agresif masyarakat kita atas informasi. Berita buruk yang belum tentu kebenarannya lebih cepat disebarluaskan daripada berita baik yang terverivikasi. Pasalnya, berita tidak benar seringkali lebih menarik diperdebatkan daripada sebuah kebenaran yang 'sudah jadi.'

Bagaimana nasib jurnalistik? Media online jatuh terlalu jauh untuk menjadi sekadar pemburu kliker, page views, rangking Alexa, dan peningkatan adsens. Dalam bentuknya yang sekarang kita harus akui bahwa media online kurang bertanggungjawab atas stampel wartawan pada pencari beritanya. Pikiran mereka dikendalikan oleh keinginan untuk meningkatkan peringkat, bukan kredibilitas dan kualitas.

Padahal, dasar yang digunakan oleh pelaku media online sejatinya sudah kalah oleh pengguna media sosial seperti Twitter, Facebook, atau Youtube. Kecepatan pengguna Twitter untuk melaporkan kejadian mengalahkan tren kecepatan yang pada mulanya diburu media online.

Jurnalistik bukanlah laporan seperti pengguna Twitter. Mereka harus berbeda, dan ini membuat cerita dari jurnalis dengan materi yang kaya jadi jauh lebih bermakna. Semakin menegaskan bahwa jurnalisme berkualitas memang sangat dibutuhkan di tengah-tengah masayarakat kita yang gagap menghadapi gelombang informasi. Kerja-kerja jurnalistik ini jelas butuh modal dan standar etika yang tinggi, agar bisa membunuh portal berita sampah yang sekadar ingin membuat orang marah dan menyenangkan sebagian kecil.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!