Hari ini, 28 April, diingati oleh kita sebagai tanggal matinya sang penyair angkatan 45, Chairil Anwar. Tentu saja, bagi sebagian orang tangal-tanggal ceperti itu punya makna, punya arti, terutama bagi mereka yang tahu dan membaca hasil karyanya. Walau tak semua juga sih...

Saya dulu pembaca sajak-sajaknya. Terutama, ya, karena di buku pelajaran bahasa Indonesia selalu ada dia. Dan, tentu saja ketika masuk kampus, nama itu kerap disebut-sebut, apalagi jika kamu masuk kelompok dengan unsur-unsur aktivitas mahasiswa... ya tidak semua sih, banyak yang tidak tahu juga, kecuali dari film AADC itu.

Bagiku, Chairil bisa jadi representasi yang menggambarkan sosok penyair sebenarnya, mungkin juga bagi sebagian besar orang: pintar, romantis, juga miskin dan penuh nestapa. Di Eropa juga banyak sosok-sosok yang begitu.. yang menjadi penyair karena ingin meringankan beban kehidupan. Mungkin orang tahunya bahwa menjadi penyair bisa dipelajari, tapi kalau bagiku,menjadi penyair itu dialami. Ya, tapi aku juga ragu dengan teoriku itu... hahaha. Teori bego.

Kembali ke soal hari matinya Chairil Anwar... mati dalam kondisi miskin, sakit, dan tentu dalam umur yang muda. Kalau ia sosok penyair sebenarnya, tentu sekarang aku ini tidak akan jadi penyair, sudah lewat masanya, ya tho... asudahlah...