Beberapa bulan terakhir, pengacara Dimas Pamungkas
bolak-balik ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ia sibuk membantu nasabah PT
Brent Ventura mengajukan PKPU, upaya memaksa perusahaan membayar utang-utangnya
lewat penjadwalan ulang.
Dalam permohonan pertama yang diputus 13 Oktober,
Dimas kecewa. Pasalnya, majelis hakim menolak permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang (PKPU) atas Brent Ventura. “Kami kecewa karena bukti sudah
maksimal dan cukup telak.”
Pada permohonan kedua, dari investor yang berbeda,
Dimas kembali menemui jalan buntu.
Jika pada permohonan pertama alasan hakim, utang belum
jatuh tempo, dalam putusan kedua ini hakim menyatakan Brent Ventura sebagai
perusahaan modal ventura yang kewenangannya di bawah Badan Pengawas Penanaman
Modal (Bapepam). Lembaga itulah yang menurut hakim berhak mengajukan
permohonan.
Mulai dari sini muncul kebingungan. Peraturan Menteri
Keuangan No. 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura menyebutkan
perusahaan penghimpun dana masyarakat sejak memulai mendirikan usaha, mengurus
perizinan, dan keuangan harus dilaporkan secara rutin kepada Bapepam sehingga
lembaga tersebut yang menjalankan fungsi pengawasan dan mempunyai kewenangan.
Dimas pun sigap mengonfirmasi ke Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Hasilnya, perusahaan yang berafiliasi dengan Brent Securities
itu tidak punya izin dari lembaga tersebut.
Sayang, meski berbekal pernyataan OJK, majelis hakim
tetap menolak permohonan PKPU ketiga yang disodorkan Dimas. Kali ini, alasannya
pembuktian hubungan hukum tiga pihak tidak sederhana.
Ketiga pihak itu ialah pemohon, Brent Ventura, dan
Brent Securities. Nama terakhir tiba-tiba muncul sebagai pihak yang menerima
dana investasi surat utang jangka menengah (medium
term notes/MTN) yang dibeli pemohon.
Brent Securities adalah anggota bursa dengan kode HK
yang statusnya sedang suspend.
Perusahaan dipimpin Yandi Suratna Gondoprawiro sebagai direktur utama.
Lepas dari teka-teki Brent Ventura itu berbentuk
seperti apa, praktik pengumpulan dana masyarakat dengan iming-iming imbal hasil
tinggi yang dilakukannya kini sudah meresahkan.
Bahkan, dalam suatu pertemuan di Restoran Kuring di Kawasan
SCBD, Jakarta pihak Brent menyodorkan data utang ritelnya yang mencapai Rp1,18
triliun. Belum ada data jumlah pasti nasabah ritel. Yang jelas, investor
menanam dananya mulai dari jutaan hingga miliaran rupiah.
Jika dilihat, perkara Brent Ventura ini mirip-mirip
dengan kasus Koperasi Cipaganti yang menghimpun dana masyarakat hingga Rp3
triliun. Modus imbal hasil tinggi juga dilakukan oleh Koperasi Langit Biru, PT
Makira Nature, PT Golden Traders Indonesia Syariah, PT Gold Bullion Indonesia,
dan lain-lain.
Beberapa kasus investasi yang diajukan ke pengadilan
dengan mekanisme PKPU dan kepailitan seringkali mengecewakan. Lihat saja
berbelitnya perburuan kurator Gold Bullion mencari aset perusahaan yang bisa
dijual untuk mengembalikan dana nasabah. Atau, nasib nasabah
GTIS yang masih terkatung-katung hingga sekarang.
Pemiliknya yang sudah lari ke negara asal, Malaysia,
kadung tak bisa dikontak. Dan ternyata, perusahaan tak punya aset, hanya
kertas-kertas belaka. Barangkali, aset satu-satunya adalah janji manis.
Jika menilik undang-undang, kegiatan penghimpunan dana
masyarakat harus berizin di bawah lembaga masing-masing, seperti Bank
Indonesia, OJK, maupun Kementerian Koperasi. Tidak terdaftarnya perusahaan
‘penipu’ itu jadi alasan lembaga pemerintah tak mau ikut campur.
Maka, nasabah lebih banyak bertarung sendiri, tidak
bisa berharap pada peran regulator maupun aparat. Di hadapan pengadilan perdata
maupun niaga, posisi mereka lemah jika tak didukung pengacara andal. Fakta dan
argumen di pengadilan sering mental. Hubungan antar nasabah atau investor yang jumlahnya
ratusan hingga ribuan sering juga tidak solid.
Seorang kawan berbisik, putusan pengadilan masih bisa
diatur. Entah benar atau tidak, yang jelas bagi mereka yang menang maupun kalah
dalam PKPU dan kepailitan, sering tidak mendapat kejelasan pengembalian dana.
Aset perusahaan itu hanya janji manis.
Tidak ada komentar
Posting Komentar