Hai politik...apa kabarmu? Bulan-bulan ini, atau sepanjang tahun, kami dijejali kabar tentangmu. Atau kasak-kusuk mengenaimu. Di sana-sini, di pelataran gereja hingga kampung-kampung jauh. Namun, semua itu hanya kabar tentangmu, politik. Sedangkan kamu sendiri tak pernah kulihat tampil di panggung politik, kamu tidak terlihat dalam kabar politik, tidak tampak juga diwawancara pembaca berita televisi.

Substansinya adalah, mungkin kamu telah berubah wujud menjadi permainan, bukan lagi perjuangan, sehingga wajahmu yang dahulu penuh daya kini hanya sebatas tipu daya. Atau, ternyata aku yang buta menyatakan bahwa politik punya tujuan-tujuan baik, atau tata cara terhormat semacam demokrasi (meski ini pilihan yang buruk).

Dan Machiavelli benar. Politik hanya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Sesungguhnya perjuangan politik adalah permainan itu sendiri. Politik seperti yang diperjuangkan dalam masa kemerdekaan memang sudah waktunya punah, bergulir jadi wajah sesungguhnya yang manipulatif. Atau memang dari dulu memang wujudnya sudah begitu.

Hari-hari ini kita dijejali dengan informasi tingkah-polah politikus yang sedang mengupayakan untuk meraih kekuasaan tertinggi, selepas pemilihan anggota legislatif yang lalu. Puncak kekuasaan itu adalah mengatur negara.

Namun, jika demikian, apakah menjadi presiden atau dominan di legislatif adalah mengendarai negara? Toh pada kenyataannya kebijakan-kebijakan yang muncul hanya sebentuk anak dari perselingkuhan negara dengan pemilik kapital, atau segenap cara untuk menempatkan penguasa pada posisi tetap berkuasa; kebijakan-kebijakan populis hanyalah cara bagi mereka untuk tetap diakui sebagai penguasa mengingat insiden lima tahunan untuk mendapatkan legitimasi rakyat.

Memberikan layanan listrik kepada rakyat tetap dalam koridor mencari untung, baik bagi swasta yang diberi keluasan membangun pembangkit listrik atau dalam lelang-lelang. Memberikan akses pinjaman kepada rakyat tetap dalam kerangka menggantikan posisi renternir, dan memberikan bunga pinjaman 2-3 kali lipat dibandingkan bunga pinjaman kepada korporasi besar. Memberikan subsidi bahan bakar tetap pada tatanan untuk memperbesar pasar otomotif, pun menarik subsidi dalam kerangka menyediakan pintu masuk bagi bisnis perusahaan minyak asing. Memproklamirkan ekonomi kerakyatan tetapi masih dalam rangka memperbesar porsi penguasaan perusahaan besar.

Ah, semua itu omong kosong saja. Apa yang disuarakan rakyat tak pernah benar-benar bersuara. Apa yang disebut rakyat hanya persoalan klaim semata. Apa yang disebut dukungan hanya mobilisasi massa saja. Apa yang disebut legitimasi hanya statistik saja. Apa yang disebut 'suara rakyat' hanya kalkulasi hasil coblosan, suara yang sebenarnya hanya jeritan di kejauhan. Bahkan jika pun mereka mendekatkan telinganya pada jeritan itu, mereka tidak akan pernah tahu artinya...

Suara rakyat adalah suara yang sayup-sayup, antara ada dan tiada. Ada sekadar dibawa pada tataran pepesan demi memancing keuntungan lain. Ketika buruh dikerahkan dalam demontrasi dan pekik suara tuntutannya adalah persoalan pelik sehari-hari, politisi sibuk mengakomodasinya dalam kemasan dukungan politik untuk sang calon presiden.

Sayup-sayup pula kepentingan rakyat hadir di ruang-ruang perjamuan tingkat tinggi dari para pejabat negara dengan pengusaha berdasi. Lalu muncul kesepakatan bisnis, perjanjian pendirian pabrik, jual-beli saham perusahaan negara, dan demi itu semua rakyat membayar pajak. Sambil tertawa girang, rakyat menyambut makan malamnya di gubuk-gubuk kardus di pinggiran Ibu Kota. Tak apa tak mengerti perjamuan super mewah di hotel paling mahal, meskipun yang membayar pajak adalah mereka. Tak apa…