Suatu kali saya pernah menulis soal anak jalanan dalam lingkaran kekerasan yang diilhami dari kehidupan sehari-hari dimana saya terlibat di dalamnya. Tulisan di halaman opini surat kabar itu tidaklah istimewa, hanya secuil kenyataan yang saban hari dihadapi oleh anak-anak di keluarga miskin. Jika hitung-hitungan BPS atau lembaga seperti Bank Dunia benar, tentunya ada jutaan anak di Indonesia yang hidup dalam keluarga yang miskin. Ratusan ribu diantaranya adalah miskin urban yang lebih berbahaya daripada miskin pedesaan.

Tentu saja akan cukup mudah menemukan kekerasan terhadap anak di lingkungan kita, begitu mudahnya hingga kita tak berpikir bahwa apa yang terjadi adalah bentuk kekerasan. Juga, sangat mudah bagi peneliti, penulis, atau jurnalis untuk memotret atau menelaah kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Sayangnya, selama ini sebagian besar gambaran atau potret itu muncul dalam format yang sudah akut, yakni dalam kasus-kasus yang telah dilaporkan kepada polisi.

Ketika saya menulis kekerasan pada anak (anak juga sering kali mencontek perilaku kekerasan dari apa yang dilakukan orang-orang dewasa di sekitarnya), lingkungan saya memang sebuah komunitas yang sudah bebal, sudah sangat biasa (meskipun belum pada tahap memaklumi) hadirnya kekerasan terhadap anak dalam ruang-ruang keluarga dan masyarakat. Sayangnya, adanya kekerasan harian itu tidak mampu mendorong hadirnya gerakan orang-orang tua untuk menjaga anak dalam konteks masyarakat. Mereka hanya terdorong untuk melindungi anak-anaknya sendiri.

Tahun 2004, ketika itu anak-anak yang sering menerima kekerasan dan cukup dekat dengan kami masih berumur di bawah sepuluh tahun. Kini umurnya sudah belasan dan saya pasti tidak lagi bisa mengenalinya. Satu anak, bukan salah satu yang cukup akrab, kini mendekam di penjara di Yogyakarta akibat kasus pembunuhan sesama anak punk jalanan. Pembunuhan mungkin boleh kita sebut sebagai puncak kekerasan, yang pada akhirnya dilakukan oleh anak-anak yang dahulu kerap menerima kekerasan dari orang-orang dewasa di sekitarnya, bahkan dari orangtuanya.

Saya hanya ingin menggarisbawahi, bahwa kekerasan, ataupun pada akhirnya kita sebut kejahatan, diciptakan dalam lingkungan masyarakat oleh kita sendiri. Saya percaya bahwa yang bersalah atas berbagai kasus kekerasan dan kejahatan bukan hanya individu, tetapi masyarakat secara umum juga menyumbang peran besar atas terjadinya kekerasan atau kejahatan. Ketidakpedulian, membiarkan tetangga memukul anaknya, memberikan contoh perilaku seksual menyimpang dan tidak pada tempatnya....semua itu akan diduplikasi dan dikembangkan menjadi lebih kompleks oleh anak-anak yang perlahan dewasa. Ketidakpedulian kita, lebih daripada apapun, jadi penyumbang terbesar dari kerusakan sosial.

Saya sekarang jauh dari mereka yang lingkungannya tetap keras dan 'mentradisikan' kekerasan dalam keseharian, dan bahkan hingga ke pola pikir yang paling dalam. Obat-obatan, minuman keras, pelacuran, dan berbagai kejahatan yang tercipta darinya bukan hanya salah mereka sendiri. Masyarakat yang innocent dengan meneteng buku ke kampus, mereka yang berdasi dan berparfum wangi, juga para aktivis yang menyuarakan pemberantasan korupsi pun punya andil terhadap kekerasan yang tengah direproduksi masyarakat kita. Kita tengah menghadapi gelombang dari perbuatan kita sendiri, yang kita mengiranya tidak ada hubungannya dengan kita. Jika sewaktu-waktu ada jambret merampas tas mewah Anda, padahal Anda sudah salat 5 kali sehari dan sangat gemar beramal, mungkin juga itu salah Anda di masa lalu atas ketidakpedulian--atau secara retorik kita sebut ketidaktahuan kita karena ada tembok tebal antara dunia kita dan mereka.

Sekarang saya pun harus berpikir bahwa pembunuhan yang dilakukan Philip, anak punk yang membunuh anak punk lainnya, bisa jadi bagian dari ketidakpedulian saya di masa lalu. Senyatanya, saya memang tidak terlalu mengenalnya karena saya memang tidak terlalu peduli dengannya. Dia anak paling bisa membuat onar dan mengajak anak-anak kecil lainnya untuk pergi dari rumah dan tidak pulang. Dan di sanalah saya kemudian tidak ingin berurusan dengan kerumitan membujuk anak yang 'nakal', tidak mau memahami persoalan mendasar mereka yang diabaikan keluarganya, dan akhirnya 'dosa' macam itu menjadi kejahatan yang kini ditangani oleh aparat hukum--yang dalam posisis tertentu semakin menebalkan perilaku jahat.

Jarak sosial kita makin renggang di tengah makin padatnya penduduk dan massifnya penggunaan alat komunikasi per individu. Jarak kepedulian, jarak rindu yang harusnya ada sebagai sesama manusia. Tidakkah kamu menganggap bahwa manusia lain adalah saudara? Atau kamu lupa bahwa tanpa orang lain yang tidak 'sedarah' itu kita hanyalah satu keluarga kesepian di tengah jagad?

Saya hanya ingin berkaca pada diri sejarah saya sendiri yang berjarak sekian tahun dari sekarang. Saya percaya ada niat besar pada masing-masing kita untuk berbuat baik, bertindak besar dan nyata kepada orang lain, ada hasrat untuk membantu sesama manusia dan mengantarkan pada kesadaran bahwa sakit mereka adalah juga bagian dari penderitaan kita. Pada kondisi semacam itu tentu kita tidak pernah butuh asuransi kesehatan atau asuransi jiwa, kita tidak butuh perusahaan yang pada niatnya memang untuk mengisi kekosongan. Tidak saya katakan perusahaan itu buruk, sebaliknya merekalah yang paling realistis membaca situasi dan memberikan solusi cerdas, tanpa kemudian mereka minta disebut sebagai penolong; mereka terang-terangan meminta premi dan memberikan perlindungan, di saat masyarakat secara munafik menuntut kita untuk bermoral baik dan menahan hawa nafsu. Kita pura-pura, sementara perusahaan asuransi mau menerima kenyataan sambil menjual solusi.

Kembali kepada apa yang pernah saya tulis di masa lalu, dan segenap kealpaan bahwa asal-usul saya adalah kubangan kekerasan yang tidak pernah berhenti sejenak pun, tentunya hari ini saya juga malu mendengar begitu banyak kasus pelecehan seksual terhadap anak di Indonesia. Kekerasan semacam itu, yang terungkap di meja kepolisian, hanyalah puncak gunung es yang timbul tenggelam digoyang ombak samudra. Tidak hari ini saja, tetapi sudah terjadi sejak lama. Biasanya, dalam kondisi masyarakat yang semakin permisif, skalanya akan semakin besar karena ada proses reproduksi. Satu kekerasan melahirkan lima kekerasan pada generasi selanjutnya, kemudian berpinak jadi 25, menjadi 625, dan seterusnya. Semacam kema bisnis piramida saja.

Kita pasti tidak suka disalahkan, bahkan jikapun kita memang bersalah. Maka, sebaiknya saya menyebutnya sebagai 'kita turut bertanggungjawab.'


-Sent from my blackcoffee-