dari Tanjung Bira #2

Saya bukan penggemar travelling, dan saya tidak mengenal turisme sampai kemudian pindah ke Jawa. Sehingga kalian pahamlah bahwa sulit bagi saya menikmati perjalanan wisata sehari dua hari ke pantai atau tempat wisata. Mungkin saya baru benar-benar puas menikmati sebuah pantai kalau setahun atau dua tahun tinggal di sana hahahaha.

Pemahaman saya pun agak berbeda soal travelling atau apalah itu istilah orang-orang kelas menengah. Dalam pemahaman kanak-kanak saya hingga sekarang, yang paling menyenangkan tentunya disebut petualangan, bukan traveling.

Travelling itu apa ya… kalau boleh mendefiniskan, travelling yang sejenis bisnis perjalanan gitu, waktu untuk menghabiskan waktu, lari dari kesibukan, dan bla bla bla … oleh karena itu, saya pasrah saja jika perjalanan ke Tanjung Bira kali ini hambar juga. Hahahahaha.

Yang saya nikmati bukanlah pantainya, tetapi perjalanannya. Perjalanan panjang beberapa puluh atau ratus kilometer ibarat petualangan bagi saya.

Setelah sopir angkutan Panther menjemput semua penumpangnya, perjalanan pulang ke Makassar dimulailah. Namun, belum lagi setengah jam, mobil berhenti untuk berganti sopir. Rupanya, orang yang mencarikan penumpang ini tidak membawa kami ke Makassar, hanya mencarikan penumpang. “Have nice trip!” katanya kepada turis-turis di belakang saya.

Mereka dadah-dadah… dan melajulah Panther dengan kecepatan yang wajar-wajar saja.

Banyak tempat menarik sebenarnya, seperti pantai-pantai sepanjang jalan, hamparan ladang dengan banyak kuda tersebar. Selain Bulukumba, di Jeneponto juga banyak kuda berkeliaran di hamparan… yang bekas pohon jagung yang sudah dipanen.

Di jeneponto, selain banyak kuda, di sini juga ada kecelakaan motor vs mobil. Motor itu sepertinya akan mendahului, dengan melihat posisi tambrakan. Motornya ringsek di bawah mobil. Sementara mobilnya lecet. Pengendara motor sudah tak bernyawa.

Para penontonnya banyak sekali, mereka sibuk berdiskusi. Mobil tidak segera dipinggirkan dan motor masih di posisi semula, menyebabkan kemacetan. Polisi belum datang sehingga orang-orang ini belum berinisiatif memperlancar lalu-lintas.

Tidak aneh jika Sulsel menjadi salah satu provinsi dengan korban kecelakaan lalu lintas terbanyak beberapa tahun belakangan, meski masih kalah dengan beberapa provinsi di Jawa. Karakter wilayah dan kebiasaan bekendara tampaknya cukup berpengaruh. Dan mungkin di daerah-daerahlah kecelakaan fatal terjadi, bukan di kota-kota besar yang lebih adaptif terhadap kendaraan bermotor.

Sebagian besar pemotor di jalan adalah warga lokal yang bisa ditandai dengan gayanya naik motor; sangat pelan, tanpa helm, membawa anak kecil. Gerak mereka yang lambat dan gampang gugup justru sering membahayakan, terutama jika bertemu dengan pengendara jarak jauh. Karakter pengendara jarak jauh adalah kecepatan mereka. Padahal jalan-jalan di sana banyak yang menikung dan sempit.

Kecelakaan lalu lintas adalah pembunuh yang tampaknya sama seperti penyakit jantung dan penyakit-penyakit berat lainnya. Dengan infrastruktur yang ada, kondisi itu wajar. Jumlah sepeda motor di Indonesia sangat banyak sementara jalanan tidak pernah dirancang untuk memisahkan motor dan mobil. Ya sudahlah … kultur kepedulian pemangku kepentingan memang masih taraf mengenaskan.

Sepanjang jalan juga banyak sekali rumah masih bergaya tradisonal dengan bangunan kayu dan berbentuk panggung. Justru inilah yang membuat saya merasa berpergian… tempat-tempat yang amat berbeda, hal-hal baru, dan pemandangan yang selalu membuat kita berpikir dan mengintrepretasikan apapun yang lewat di depan mata.

Sopirnya sedari awal selalu merokok, tidak ada habis-habisnya. Saya duduk tepat di belakangnya, agak terganggu dengan asap. Beberapa kali dia juga menelpon sekaligus menulis SMS. Jadi ada dua telepon dia pegang dan sebatang rokok. Lalu minta bantuan ke anak kecil di sampingnya untuk membacakan nomor telepon sambil dia mengetikkannya di hape yang dipegangnya.

Kami mampir di warung makan untuk makan siang dan istirahat sejenak. Bule yang anak kelihatannya lebih peduli terhadap lingkungan, mencoba masuk dan mencari kursi kosong yang tidak ada. Dia coba lihat-lihat dan akhirnya gagal, tidak ada orang yang bisa diajaknya bicara, bahkan bapak-ibunya kelihatannya tidak berminat bicara.

Ini sebuah warung sop sodara dengan keadaan yang buruk tetapi ramai dengan pengunjung. Mereka juga orang-orang yang dalam perjalanan jauh. Banyak sampah berserakan sekalipun ada yang berusaha menyapunya. Saya pesan sop paru, Rp30 ribu, agak hambar dan mahal tentu saja. Ada pilihan lain, tetapi saya menghindari makan ayam… sudah beberapa tahun terakhir saya tidak menyukai makan ayam. Pertama karena pengalaman sebagai pemelihara ayam, kedua karena seolah tubuh saya juga menolak.

Di sini juga ada toilet yang mengerikan, hanya berupa selokan kecil sekali tempat mengalirkan air seni yang dialirkan ke got. Sungguh, orang-orang di sini belum siap untuk mengembangkan bisnis jasa.

Bule perempuan ngeluh lagi, menggambarkan kepada suaminya perihal toilet yang parah itu. Yeah, ini dunia “ketiga” memang. Dia tampak kebingungan sekaligus terpaksa masuk ke tempat yang dinamakan toilet.

Bukan hanya bule sebenarnya, seorang anak kecil perempuan juga agak ketakutan melihat bentuk toiletnya. Tetapi tidak ada pilihan. Daerah-daerah di sini tampaknya memang belum dikelola dengan baik. Jika memang mau mengembangkan turisme, yang ada di benak masyarakatnya juga harus diubah.

Selama beberapa bulan di Makassar, soal pelayanan yang ramah memang agak sulit didapat. Orang jualan seperti cuek saja. Caranya bertanya juga seolah tidak butuh pembeli. Tentu tidak semuanya begitu. Ada beberapa yang cukup telaten melayani pelanggan. Tetapi saya menjumpainya dari tempat jualannya orang Toraja. Waktu tahu saya ke sana beberapa kali, dia langsung kasih diskon dan menyapa dengan ramah. Tampaknya karena dia pernah melanglang keluar Sulsel, sehingga bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang asing. Kalau tak salah dia pernah kuliah di Malaysia, itu diceritakannya saat dua turis dari Negeri Jiran itu berkunjung ke tempatnya.

Oke, kembali ke perjalanan tadi … ehm, sampai mana tadi. Yeah, setelah selesai makan, kami melanjutkan perjalanan. Aku sempat beli minuman bersoda dingin… minuman yang jadi petaka dalam beberapa hari berikutnya.

Perjalanan setelah makan jadi agak lebih enak, karena tubuh kami yang tertekuk sepanjang jalan bisa diluruskan sejenak. Jalan-jalan yang kami lewati jadi lebih ramai, lebih menampakkan tanda-tanda kota kecil, sekaligus dengan seluruh ketidakteraturannya. Ternyata kampung-kampung lama dengan bangunan tradisional lebih tertata dan teratur daripada bentuk kota yang sepertinya disusun secara acak.

Kami sempat mampir sejanak di pom bensin dengan sopir yang tetap merokok sekalipun ada tulisan besar-besar dilarang merokok. Entah kenapa di Indonesia banyak laki-laki merokok… rokok yang dibeli dari perusahaan-perusahaan asing, macam philip morris yang punya mallborro dan sampoerna. Di kota seolah tidak ada orang melinting rokok sendiri.

Sampai di terminal Malengkeri sudah pukul 4 lewat. Banyak taksi sudah menunggu. Saya pilih cari yang di luar terminal, siapa tahu ada taksi bosowa. Sayangnya, sulit juga cari taksi bosowa yang kosong. Akhirnya ambil taksi sembarang yang baunya … seperti habis dimuntahin tiga pemabuk. Jendela saya buka sedikit agar udara masuk dan tidak pengap. Tapi risikolah.. ini Makassar. Setahu saya hanya taksi bosowa yang lumayan bagus. Yang lain sering tidak memperhatikan suasananya, ada beraneka macam bau yang di-mix jadi sesuatu yang tidak bakal kita kenali lagi bau apakah itu.

Tidak ada komentar