Pergi ke pantai memang sebaiknya tidak sendiri. Akan sangat mengecewakan jika pantai yang kau kunjungi tidak cukup indah dinikmati. Jika kamu bersama orang lain, setidaknya ada kebersamaan yang bisa menawar kekecewaan. Sendiri memang kadang membuatku tersentak; wow, aku sampai di suatu tempat asing sendiri.
Ke Tanjung Bira ibarat undian saja bagiku karena pilihan pertama tidak kuambil; Tana Toraja. Pada mulanya aku berencana ke Tana Toraja yang namanya sudah diperdengarkan di mana-mana, meskipun aku tidak tahu apa yang ada di sana.
Sayangnya, tumpuanku satu-satunya sebagai tujuan numpang makan di sana kebetulan tidak pulang kampung. Teman kuliahku, Inong, bekerja entah di mana… yeah, bahkan walau aku beberapa kali chat via bbm tapi aku tidak tanya di mana dia kerja :D … Dia orang Toraja. Lalu, dia rekomendasikan Tanjung Bira. Bah, 3 bulan di Makassar tak satupun teman di sini menyebutkan Tanjung Bira.
Setelah googling, barulah tahu di mana letak pantai pasir putih. Berdasarkan foto-foto di googlemaps, kurasa tempatnya menarik. Juga banyak penginapan di sana.
Hanya dengan mengetikkan “cara pergi ke tanjung bira,” aku jadi tahu rute mana yang harus dilalui. Ketika tanya ke orang-orang di Makassar mereka bilang naik angkutan ke Bulukumba lalu lanjut ke Bira. Jawaban mereka lebih buruk daripada Google, karena ternyata ada angkutan langsung ke lokasi. Angkutan ke sana tersedia di Terminal Malengkeri.
Dari sebuah blog milik seorang bismania aku tahu kita bisa ke sana dengan menumpang bis tujuan Pulau Selayar. Tarifnya Rp130.000 untuk yang dapat tempat duduk, Rp120.000 yang di lorong (istilahnya di gang tengah, dikasih kursi plastik). Naik angkutan Izuzu Panther lebih murah, berkisar Rp80.000-an, tapi aku dapat harga murah ketika pulang ke Makassar setelah ngobrol panjang dengan petugas syahbandar pelabuhan penyebrangan Tanjung Bira, Rp70.000 … hahahaha, tidak berbeda jauh sih. Tapi menurutku harganya bisa lebih mahal karena ini masa libur lebaran.
Cerita perjalanan 7 jam ke Tanjung Bira sudah ada di post pertama.
Seperti kubilang tadi, seharusnya aku pergi ke sana bersama orang lain. Bukan karena tidak tahu jalan dan tidak mengerti bagaimana menangani perjalanan di sana, tetapi karena kecewa dengan pantainya. Hahahahaha…
Kelemahan sebagian besar tempat wisata di Indonesia adalah eksploitasi berlebihan dan tidak ada perawatan. Menurutku mereka memang belum siap secara mental untuk mengelola tempat wisata. Ini juga terjadi di beberapa tempat di Makassar yang merupakan Ibukota Sulawesi Selatan. Orang-orang di sini lebih lihai berpolitik, memasang baliho di sepanjang jalan, mempertontonkan foto sok ganteng, dan penuh ungkapan-ungkapan busuk yang merusak stereotip politik dalam text book di universitas.
Dalam perjalanan pun hanya Kabupaten Bantaeng yang tampaknya perhatian kepada para pengedara. Rambu-rambu lalu-lintas di kabupaten ini komplit. Tiap akan ada tikungan selalu ada papan peringatan. Aspalnya pun terjaga halus, sekalipun jalan hanya muat dua mobil. Di kabupaten lain tidak se-perhatian Bantaeng, apalagi di Kabupaten Gowa yang semrawut. Tampak mana kabupaten yang dikuasai politikus dan mana yang dipimpin pelayan masyarakat (bah!)
Hanya sehari di Bira. Sebenarnya ada spot-spot pantai pasir putih lain yang tampaknya lebih bersih karena sedikit dikunjungi, namun tidak ada waktu untuk eksplorasi. Apalagi, matahari di sini sangat menyengat panasnya, jadi harus siap dengan segala macam pelindung agar kulit tidak terbakar.
Pagi sekitar pukul 7 kurang aku jalan kaki ke Pelabuhan Penyebrangan Tanjung Bira, mencari angkutan ke Makassar. Hanya untung-untungan, karena aku tidak tahu jadwal kapal feri tiba di pelabuhan. Dan tepat ketika sampai, sebuah panther ber-plat kuning keluar dari pelabuhan. Rupanya itu angkutan terakhir setelah kapal masuk pagi tadi. Akan ada banyak angkutan lagi, tetapi menunggu beberapa jam.
Seorang penjaga pintu gerbang menyarankan menunggu di dekat loket masuk, dia akan mencarikan angkutan. Dia bilang akan ada yang keluar, sayangnya setelah tanya ke sana-sini rupanya sudah habis dan menunggu kloter berikutnya.
Penjaga yang dipanggil Jack itu orang Cempaka Putih, ya… Jakarta. Istrinya orang Jakarta dan dia sendiri keturunan Bima. Sudah 7 tahun bertugas di Tanjung Bira dan bilang betah di sini karena merasa damai. Jarang orang kehilangan barang, katanya. Sementara di Jakarta, motor ditinggal sebentar saja bisa raib. Di sini, sapi pun dibiarkan berkeliaran sendiri tanpa dijaga.
Akhirnya, penjaga yang lain, menemukan angkutan ke Makassar, bukan yang mengangkut penumpang dari Pulau Selayar. Mereka membawa tiga bule yang sepertinya habis dari pantai beberapa hari ini. Sepertinya mereka bercakap dengan bahasa Perancis. Suami-Istri dan seorang anak. Mungkin mereka menggunakan bahasa Perancis agar tidak diketahui apa yang dibicarakan. Soalnya, si anak yang pendiam sempat nyolot, “Stop complaining! You know it’s Indonesia,” katanya.
Si bule ngeluh soalnya mobil Panther yang kami tumpangi menjemput satu-satu penumpangnya. Setelah aku masuk dan duduk di samping si bule anakan, sopir membawa Panther ke kampung, masuk gang atau lorong… menjemput seorang perempuan. Entah bekerja apa atau tinggal di mana di Makassar, karena seluruh bahasa pecakapan menggunakan bahasa lokal. Bahasa mereka sama asingnya sengan bahasa Perancis. Aku tak paham satu kalimat pun. Hanya kata-kata bahasa Indonesia yang kadang disisipkan, itu pun jarang sekali, yang kadang aku tahu.
Kemudian masuk lagi ke kampung. Kami berpapasan dengan beberapa gadis yang menggotong kura-kura besar, mungkin beratnya 5 kg atau lebih. Aku juga tidak tahu apa yang mereka bicarakan ketika membawa binatang tersebut.
Di depan rumah tradisional, dan hampir seluruh rumah di sini masih bergaya tradisional yang terbuat dari kayu dengan ornamen-ornamen khas, sebuah tumpukan barang sudah siap. Banyak sekali. Seorang ibu dengan 3 orang anak akan bersama kami. Sopir Panther agak mengeluh, tetapi terus tertawa dan mencoba menjelaskan kepada bule, “It’s Indonesia!” dengan senyum lebar. Dan bule-bule sudah paham dengan sendirinya hanya dengan mengatakan bahwa ini di Indonesia.
Si ibu calon penumpang salam-salaman dan menyampaikan semacam kata-kata perpisahan. Semua percakapan mereka tidak kupahami, hanya kuintrepretasikan saja. Mereka semua berbicara dengan tersenyum dan tertawa, khas Indonesia.
Ibu dan ketiga anaknya duduk di depan. Di tengah ada 3 orang dan di belakang ada 2 bule. Kaki mereka yang panjang tampaknya tidak bakal nyaman dalam perjalanan 7 jam. Setelah kukira semua penumpang lengkap, ternyata si Panther naik ke kampung yang di atas bukit, dekat manara BTS. Parah jalannya, sempit, berbatu, jangan bayangkan ada aspal, dan selebar mobil Panther itu sendiri, dikasi kelebihan beberapa inci samping kanan dan kiri.
Motor yang diparkir di pinggir jalan membuat mobil tak bisa lewat, harus disingkirkan dulu. Jalan yang menanjak tajam membuatku was-was karena mobil bermuatan banyak barang. Tapi lumayan tangguh juga rupanya. Di kampung di atas bukit kapur muncul orang-orang. Rumah panggung diatur rapi sekalipun tampak reyot sana-sini. Ada juga rumah yang tampak parah, seakan mau tumbang jika ada angin sedikit kencang saja.
Seorang anak belasan tahun turun dari rumah panggung. Dia yang akan ke Makassar, entah sekolah atau apa, yang jelas aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tiba-tiba seorang nenek bungkuk berteriak-teriak sambil mencoba lari. Yeah, hasilnya hanya jalan. Mungkin dia nenek si anak ini. Rumahnya lebih buruk dan tampak sekali setua usia sang pemilik, kusam namun masih cukup rapi. Nenek itu menghampiri cucunya yang sudah di mobil dan bicara dalam bahasa lokal, tentu saja. Semacam memberi petuah-petuah sebelum ke tanah perantauan. Si cucu tampak bosan dengan petuah macam itu, tapi didengarkan saja… dan lalu selesai.
“The last,” kata sopir kepada bule.
IMG01583-20130811-0612IMG01591-20130811-0717IMG01594-20130811-0718IMG01606-20130811-1014