makassar cepat sekali berubah, dari hangat menjadi dingin. hidup cepat sekali berbolak-balik. kemarin kebahagiaan masih membuncah, sekarang seperti barang pecah. kemarin dirindu, hari ini dibenci.

hanya kadang aku tidak mengerti, kejujuran seringkali juga cara yang mudah mencelakai diri sendiri. jujur kadang bukan tindakan yang baik, sekalipun untuk berbohong aku tidak mengerti caranya.

bagaimana mengusir kesedihan jika aku sendiri pemilik sang sedih.

...

tiba-tiba seluruh senja dan pantai jadi tak menarik. deru ombak jadi tak merdu. paduan warna jadi tak indah. dan terik makin terik menghantam jiwa. tak ada hujan di kota ini yang membantuku menerjemahkan gurat macam ini. jalan kaki di sepanjang trotoar jadi caraku menghilang dari manusia. orang-orang tidak pernah peduli pada pejalan kaki, dan begitulah aku memperoleh tempat untuk kesedihanku sendiri.

di kota yang mulai kucintai, tiba-tiba segala sesuatunya seperti menentangku, menghardikku pergi dan membawa seluruh tanggungjawab kesedihan itu.

aku tak siap mengemasi dukaku, tidak bisa kulipat dalam travel bag. dan menuntunnya pergi. aku tidak sanggup meninggalkannya seperti aku tidak sanggup membawanya pergi. mungkin aku harus membelah-belah diriku, memisah yang mungkin dan yang harap, memilah yang akan dan yang sudah. membunuh yang kuinginkan dan melepas yang kucintai.

tapi untuk kali ini aku tidak siap pergi. aku tidak bisa berkemas, tak lagi ada yang akan kucari kelak, tak kusiapkan pilihan kedua dan ketiga, sekalipun hidup harus berlanjut di lembar berikutnya.

mungkin takdirku memang untuk menyesap duka, meminum empedu gelap yang bersekongkol dengan dusta.

ada racun berbahaya dalam tindakan yang kuambil saat ini, dan mungkin aku akan tenggelam di dalamnya dengan suka cita. kadang kesedihan perlu juga dirayakan, disenandungkan dalam drama picisan yang pura-pura dibesarkan.

ah, kota ini makin sempit sekarang, menekan dada siapapun yang hendak pergi.