Majalah sastra tertua itu berumur 47 tahun, menempel di rak toko buku paling mewah dan luas jangkauannya tetapi ditakdirkan kalah oleh tumpukan gambar gadget dan perempuan. Dan jika kau ambil, membeli, dan membukanya...sesungguhnya dia memang telah kalah. Isinya kebosanan kalau tidak dikatakan sebagai artefak yang terlalu baru keluar dari percetakan.

Sama sekali tidak ingin menganggap remeh perannya 47 tahun ke belakang terhadap beberapa generasi yang setia dengan sastra, tetapi kenyataan mengabarkan berita sesungguhnya bahwa kita memang sedang kehilangan sesuatu yang sangat berharga di masa lalu. Majalah Horison seperti hendak tenggelam dengan keanggunan, namun gagal karena mereka berusaha hidup.. Yeah, hidup di tengah budaya koran, budaya online, di tengah gawatnya cita rasa kita terhadap sastra.

Aku pertama mengenal majalah ini semasa SMA dulu, di kota kecil yang tenang dan sejuk, Salatiga. Penjaga perpustakaan hapal betul dengan kebiasaanku meminjam majalah Horison dan buku-buku sastra, hingga tak ada selain aku yang harus mengembalikan tumpukan buku setengah meter setiap akhir tahun ajaran, sekalipun didominasi buku-buku yang memang 'wajib' kami pinjam jika tidak bisa membelinya sendiri.

Boleh jadi tak ada majalah Horison yang disimpan perpustakaan itu yang terlewatkan. Batas jatah peminjaman buku selalu kulewati. Hanya untuk belajar membaca secara pelan-pelan sastra Indonesia...yang sampai sekarang tidak pernah kukenali.

Tapi tak ada yang lebih menyedihkan daripada isi majalah Horison saat ini. Selama satu dekade terakhir, majalah ini seperti kehilangan kakinya, kehilangan kritikus, kehilangan gairah ke-Indonesiaan yang sering terasa dari beberapa karya yang kental nuansa daerahnya. Mungkin ini juga sejalan dengan tren buku-buku yang terbit belakangan ini, yang ditumpuki dengan teenlit, atau novel-novel yang lebih suka mengikuti selera pasar daripada selera dirinya sendiri. Satu per satu orang-orang yang jadi pentolan menghilang dari muka bumi, HB Jassin, Mochtar Lubis, Hamid Jabbar...

Sementara orang-orang seperti Sutardji dkk tidak segera keluar dari kesombongannya untuk hanya berkarya bagi dirinya sendiri. Bahkan Sapardi pun tak mampu mengayuh kapal ini. Mereka menanti sesuatu menghempas dan hilang...

Atau... Hanya karena aku saja yang tidak lagi berselera dengan sajian majalah yang konon melahirkan beberapa sastrawan bagus. Kurasa di luar sana, di ruang lain, banyak yang bersiap atau telah menggantikan posisi Horison.

Ketika dunia makin sempit dengan konektivitas, dan generasi kanak-kanak atau remaja mulai membaca sastra-sastra asing, Horison seperti masih berkutat dengan masa lalunya. Ah sudahlah...

Jelasnya, aku masih punya sisa hutang budi, anggaplah seperti itu, kepada majalah ini. Selain mengenalkanku pada beberapa nama seperti Aslan Abidin, Hamid Jabbar, Joni Ariadinata, dll. aku juga pernah sekali-kali ditraktirnya dengan honor ketika perut mahasiswaku perlu diisi bukan hanya dengan puisi tapi juga lauk ikan teri.

Selamat ulang tahun majalah Horison!

-Sent from my blackcoffee-