Metromini 640 yang padat berjalan gontai, dan aku duduk di kursi belakang sambil mengingat jumlah beras yang diimpor dari thailand dalam setahun hampir dua juta ton. Jika dimasukkan semua ke dalam metromini ini, tentulah riwayatnya akan berakhir seketika.

Data kementrian perdagangan itu kuperoleh dengan sedikit susah payah setelah telepon sana-sini dan akhirnya diperbolehkan masuk ke salah satu biro di lantai entah berapa. Pun itu pertama kalinya aku menyusuri kantor sebuah kementrian.

Narasmber yang kuperoleh pun levelnya terlalu rendah untuk dikutip, menurut redaktur. Para redaktur memang selalu tersepona dengan jabatan, sehingga nama-nama dengan titel yang kurang berharga akan diabaikannya. Maka, beginilah sekarang, aku cari narasumber berbobot dari Bulog--tempat yang beberapa kali kudatangi hanya untuk mendapat informasi hampa.

Telah beberapa bulan, kala itu, aku jadi reporter yang ke sana-kemari dengan angkutan umum. Aku juga sedikit punya kenalan wartawan lain. Karena memang desk ku itu jarang liputan beramai-ramai. Kerja dalam senyap saja. Isu pun kita harus pikir sendiri, dan sumber harus dikejar sendiri.

Metromini 640 berhenti di depan kampus Atmajaya. Seorang perempuan yang memasang headset dan tas ditaruh di depan berdiri, hendak turun rupanya. Tapi beberapa pria di sampingku juga berdiri, diikuti beberapa pria lain. Seorang di pintu bertanya-tanya pada rekannya. Rekannya bertanya ke perempuan itu, soal arah, soal tempat, soal apalah ya pokoknya membuat si perempuan melepas headset dan berpaling yang ditunjuk pria penanya.

Seorang lagi mendekat dan mengaduk-aduk tas yang dibawa perempuan itu. Tas di depan dadanya, tapi perempuan itu tak sadar karena ditanya terus oleh pria lain. Dan yang lain menahan gerak hendak turunnya. Ah ya, aku berdiri dan kucubit perempuan itu berkali-kali. Susah juga agar dia mau berpaling padaku. Tapi akhirnya dia berpaling, tapi dengan wajah sedikit marah kepadaku karena mencubit-cubit tangannya.

Perempuan itu lalu turun, hapenya tak jadi dicopet karena keburu menoleh ketika kucubit. Dan kini, tinggalah aku bersama keempat copet yang tiba-tiba menatapku dengan wajah aneh. Oh, yeah! Ini rasanya dikerubung copet... Seseorang memarahiku, memukul dadaku dan menyuruhku duduk di kursi agak depan. Aku pura-pura maju ketika sesorang kembali mumukul punggungku...aku tak duduk tapi terus berjalan ke depan dan turun. Dan berharap keempat copet tidak ikut turun.

Jumlah beras yang diimpor ke kepalaku lepas semua. Aku bahkan tidak tahu mau pergi ke mana di siang bolong macama itu. Ahay! Sebulan yang lalu hapeku dicopet di mikrolet, dan rasanya senang melihat wajah copet yang kecwa itu. Baiklah, baiklah. Ini Jakarta, biasa sajalah. Biasanya, orang yang memberitahu ada copet yang akan dituduh copet, dipukuli atau dibakar ramai-ramai. Hahahahaha. Aku tak mencium bau bensin, jadi aku tak dibakar kan ya.

Kata orang, lama setelah itu, tindakan membantu orang yang akan dicopet adalah kesalahan. Jadi, jika kau lihat copet beraksi, bantulah para copet itu dengan diam dan berharap kau tak dicopet. Jangan sekali-kali teriak "copet" karena kau bisa habis dihajar orang-orang yang tidak paham.

Nah, jakarta memang begitu, biasalah itu. Pedulikan keselamatan diri sendiri saja, terserah orang mau cilaka atau apalah...

-setahun lewat-
-Sent from my blackcoffee-