kedatanganku ke code kali ini bukan untuk tujuan yang baik, sebab aku memang hanya mampir setelah seorang teman berpesan untuk menemui yuri. yah, aku mampir di antara kunjunganku ke seorang pacar (yeah!)

yuri, dalam beberapa minggu sebelumnya, diminta tidak meneruskan sekolah ke SMK oleh orangtuanya karena masalah biaya. hm, tentu saja masih banyak yang bernasib lebih buruk; bukan hanya diminta tapi sudah jadi kenyataan bahwa mereka tidak melanjutkan sekolah karena biaya di kota pendidikan itu.

agak beruntung kami mengetahui sebelum semua itu jadi kenyataan buruk bagi yuri. yuri sekarang bukan anak kecil manis yang malu-malu saat bertemu denganku pertama dulu. gigi kelincinya masih di sana, mata sipitnya masih setia, dan keceriaannya tak pernah lekang. dan sekarang yuri menjelang sma... ah, tentu saja.

kadang aku berpikir anak-anak itu berkhianat padaku dengan menjadi dewasa, menjadi besar, dan tidak lagi kukenali jiwanya. tapi, untunglah, untuk sebagian besar mereka, aku masih mengenalinya.

aku datang ke jogoyudan minggu sore, sebelum malamnya aku kembali ke jakarta. untuk ke kampung itu tak ada jembatan sekarang, setelah hancur diterjang lahar dingin. jadi, setelah sekian lama, kucelupkan lagi kakiku ke code.

pasirnya halus dan aku merasa nyaman. pasir itu membuat pijakanku berasa bersih. berbeda jika aku menginjak batu-batu licin berlumut.

ada thalia yang menyambut....(entah mengapa, selalu dia yang menyambutku di sana, di jogoyudan. dia pula yang selalu menagihku datang.) juga ada ajay dengan tangan penuh tatto. usianya mungkin 16 atau 17 ... entahlah, yang jelas dulu dia anak sd yang suka menggambar.

thalia masih tampak kurus. dia baru sembuh dari sakit paru-paru basah. kupikir, dia satu-satunya anak di code yang tidak tumbuh hahahaha... perawakannya kecil, tapi cantik.

thalia berbeda sekali dengan devi, kakaknya, yang bongsor, sekalipun sama-sama cantik. thalaia dan ajay sekarakter dalam bentuk tubuh. aku tidak bertemu bu tun, ibu mereka, yang biasanya selalu ramai jika aku datang. tidak juga ada laila dan adiknya.

sekarang jogoyudan terlihat lebih bagus, meski tingginya bertambah karena pasir dari merapi tidak bisa dikeruk. pasir yang mengubur kampung itu jadi keras, seolah tak mau dipindah. maka, dimaklumi saja oleh warga dan menjadi lantai bagi kampung itu.

rumah satu lantai akhirnya dibangun lagi ke atas, sementara rumah 2 lantai seperti tempat thalia dan beas kontrakanku dulu hanya dipakai lantai 2-nya. maklumlah, rumah mereka tepat di samping sungai...

aku ke tempat yuri. rumahnya sudah jadi bagus, setidaknya tidak lagi terkubur pasir. lantainya dinaikkan. atau entahlah,,, kupikir rumahnya dibangun ulang. mungkin ini salah satu penyebab orangtuanya ingin yuri berhenti sampai smp saja; uang sudah habis untuk renovasi. utang mereka pasti menumpuk.

ibunya yuri tampak lebih kurus, pakaiannya lusuh, hidupnya seperti tersedot sesuatu. kalau disandingkan dengan ayahnya pasti kontras. tidak ada handoko, kakaknya yuri, yang smp pun tak selesai. adiknya yuri, 4 tahun, juga tidak tampak.
Di King Burger... 

tugasku kali ini hanya memberitahu yuri, bukan orangtuanya. seminggu sebelumnya nanang yang memberitahu kepada ibu yuri soal kesediaan kami menanggung semua biaya sekolah yuri... dan sampai aku ke sana, yuri rupanya belum tahu.

hanya setengah jam kami bicara sebelum devi datang dan minta ditraktir burger. ah, dia sedikit lebih kurus, tapi dengan begitu lekuk di wajahnya lebih terlihat. anak ini tetap keras di luar, sekalipun di dalamnya dia perempuan yang lembut.

kalau aku punya novel teenlit dialah tempat membuangnya... hehehe biasanya dulu aku rutin membelikan novel. entah apa pengaruh pada hidupnya sekarang... tapi dia perempuan otentik.

berlima kami ke burger king, bertemu angga kecil yang jualan koran. dia minta aku membeli korannya. dan ketika membeli burger, datang yanti. dia selalu menyindirku ... entah, rasanya selalu seperti digebuk sesuatu. yanti dan angga kecil kaka beradik. mereka kubelikan burger untuk dibawa pulang, sementara aku dengan novi, thalia, yuri dan devi makan di sana.

belum selesai kami makan, aku sudah harus meninggalkan mereka. sebab, aku juga berjanji menjenguk ibunya yani. kebetulan anak-anak code utara sudah berangkat ke rumah sakit lebih dahul, sementara aku menyusul.

ini barangkali yang membuat code masih memiliki ikatan; kami selalu menjenguk siapapun warga situ yang masuk rumah sakit. ibunya yani tampak kurus.

tampaknya, beban hidupnya seperti sebuah ledakan merapi. kasus yani terlalu berat untuk ditanggungnya.