Kubacai lagi ia yang telah pergi, yang jadi asap dalam sajak-sajaknya. "Pada meja panjang sang waktu/ guci Tuhan sedang minum-minum//" tegasnya untuk Klaus Demus. Kutandai rasa sakitnya, "Susu hitam dini hari kami reguk saat senja..." dan seterusnya dan seterusnya.

"Ia menghardik ayo mainkan maut lebih merdu ..." dan habislah mereka membumbung sebagai asap ke udara, tempat kuburmu.

Kubacai lagi luka yang menganga, seperti lorong penuh kekosongan, tak ada tersisa masalalunya; semua kewarasan telah usai pada setiap pembantaian.

Penyair tak bertanah air itu didekap keterasingan, ia cium bau neraka, ia sesap kematian demi kematian, dan seperti tak diakui bangsanya sendiri.

Tubuh pinjamannya mengambang di sungai Seine pada awal Mei 1970, telah lewat beberapa hari saat ia rayakan ulang tahun sang maestro penyebar maut dari Jerman.

Paul Celan, penyair Jerman yang pernah masuk kamp kerja paksa, menekuni suatu riwayat kesepian yang teramat panjang. Mungkin kita layak memberi sesal, tapi dia berjalan sendiri dan tak pernah bersama simpati kita.

Celan lahir 23 November 1920 di kota Czernowitz, bagian utara Ukraina. Tekun ia susuri sastra Jerman, tanpa pernah membayangkan bangsa itu pula yang kelak memberinya pahit tegukkan kehidupan.

Ayahnya mati di ghetto, entah sakit entah dimangsa peluru. Pun bundanya, ditembak mati. Desakkan kekosongan mengguncang, "Aku cuma merasakan kekosongan, kekosongan yang tak terhingga," rintihnya pada ketiadaan.

Celan bergelut dengan identitas-identitas kenegaraan yang menindas, yang tidak peduli pada kemanusiaan, berpindah dari satu negara ke negara berikutnya, bahkan setelah perang dinyatakan usai. Keterasingan selalu akan dibawa bersama kekosongan akut yang laten, mengancam kesehatan jiwanya.

Penyair itu mendatangi Jerusalem dan ia dikenali sebagai penyair Jerman; puncak keterasingan pada bangsanya sendiri. Ziarahnya sia-sia saat bangsanya menghardik dengan "penyair Jerman," dia ditaruh dalam satu rantang dengan pembunuh bangsanya sendiri.

Kegilaan mengintip dari dalam kepalanya, seperti kekosongan yang begitu kilau dan membutakan. "...kerusakan telah sampai ke inti eksistensiku," tulisnya dari Paris. Sebelum kematiannya, Celan mengunjungi rumah raja penyair Jerman Friedrich Holderlin (1770-1843) yang menderita sakit jiwa berat dan akhirnya gila, sama seperti dia.

Ah, kubacai lagi riwayat sepimu. Kutandai lagi kekosongan.