12 July
2011
Mendjadi djurnalis
Tirto Adhi Soerjo, bapak pers Indonesia |
Dahulu
memang aku berkeinginan menjadi jurnalis, tapi bukan spesialis komoditas, atau
bahkan ekonomi dan bisnis. Aku sekadar ingin menjadi jurnalis; yeah sekadar itu
saja. Dan yang patut disalahkan atas cita-cita itu adalah sebuah buku, buku biru
kalau tak salah, tentang tanya jawab soal jurnalistik. Bukunya jelek.
Tulisannya model ketikan manual dengan ejaan lama. Dan persis, isinya hanya
tanya-jawab.
Aku tidak
mengerti kenapa buku itu menarik bagiku, sebab tak ada gambar atau cerita
menarik di sana, dan aku yang baru SMP bukanlah tipe pembaca buku yang tekun
yang menyukai buku zonder gambar ilustrasi. Kalau kuingat, masa itu aku senang
sekali menggambar, membuat sketsa, sehingga memang agak aneh kalau aku menyukai
buku yang melulu tulisan dengan ejaan lama. Buku tanya jawab itu masih bisa dijumpai pula
di perpustakaan Fisipol; tak ada pembaruan ejaan.
Buku itu
aku temukan di antara aneka jenis buku milik pakdeku, termasuk salah satunya
buku variasi cara berhubungan intim. Yeah, buku semacam itu (: seks) jadi
sangat menonjol karena di sampingnya adalah buku-buku agama yang penuh dengan
kaligrafi arab.
Barangkali,
kata “djurnalistik” lah yang menghipnotisku. Kata itu asing sekaligus menarik
perhatian. Padahal, waktu itu aku juga hanya anak ingusan yang pertama melihat
koran utuh saat kelas 6 SD. Di kalimantan aku tak pernah menjumpai koran, hanya
potongan kertas yang dikisahkan orangtuaku sebagai bagian dari sebuah koran.
Koran itu jenis apa, aku pun tidak tahu, dan tidak peduli; hanya saja aku suka
mengeja kata-kata. Tiap kata adalah perpaduan bunyi yang menarik, yang bisa
menggetarkan lidahmu. Yeah, meskipun aku baru bisa membaca kalimat setelah
kelas 3 SD. Biasalah, kami orang-orang terbelakang soal pendidikan di pedalaman
kalimantan; dan kami tidak begitu peduli.
Pertama
kali menemukan buku itu, buku djurnalistik pertamaku, aku tak paham apa itu
jurnalistik. Tak ada orang yang bisa menjelaskan apa itu jurnalistik, ketika
itu, sebab aku memang tidak pernah bertanya. Aku hanya takjub, bahwa ada kata
“djurnalistik” di dunia ini yang aku tidak memahami artinya. Barangkali karena
penasaran, aku lupa apa motivasiku membaca, aku membuka-bukanya. Ketertarikanku
pada hal-hal kuno memang sudah ada sejak lama, maka demi kulihat ada huruf
“dj”, “tj”, dan kata-kata yang berformasi aneh dalam kalimat bergidiklah
hatiku. Itu pasti buku luar biasa, datang dari jaman kuno, mungkin beberapa
abada lampau (lebai). Kertasnya pun coklat hampir runtuh (: rapuh). Selain buku
itu aku bahkan menyimpan buku diktat pelajaran kimia SMA (tulisannya sih bukan
untuk SMA, tapi untuk … apa gitu, tp sepadan dgn SMA) yang ditulis dengan ejaan
lama, dan juga novel anak-anak mengenai kepanduan (juga sebuah kata baru
untukku yang ternyata sama saja dengan pramuka) yang juga ditulis dengan ejaan lama.
Novel itu kubaca berulang-ulang, lebih karena tidak ada bahan bacaan.
Ehm,
sebaiknya kuceritakan dulu beberapa buku kuno itu, sebelum ke soal jurnalis.
Kalau buku “djurnalistik” kutemukan di rak buku, novel tentang kepanduan
Belanda itu berserakan di kandang ayam. Kala itu aku masih SD kelas 6, masa di
mana aku dipindahtangankan ke tempat pakdeku di Jawa Dwipa. Orangtuaku masih di
bumi kalimantan. Dan di Jawa, selain disuruh sekolah, aku juga sering
disuruh-suruh. Salah satunya menjadi petugas kebersihan dan perawat ayam. Satu
kandang ayam dengan berbagai spesies unggas. Tugasku adalah membersihkan
kotoran, menyapunya, mengganti minum, memberi makan, dan bermain dengan mereka.
Angsa besar selalu menakutkanku, tapi tidak dengan kalkun jinak dan ayam-ayam
kate. Mereka semua adalah pembuat ribut, tapi aku menyukai berada di antara
mereka, termasuk di antara kotoran unggas. Sebab, kalau aku tak di sana, aku
pasti disuruh menjaga toko dan melayani pembeli pakan ternak. Aku tidak suka.
Maka,
biasanya aktivitas membersikan kandang dan memberi makan menjadi menyenangkan.
Aku bisa berlama-lama di sana. Dan lagi, di bagian lain kandang ada semacam
gudang tempat menyimpan barang-barang tak berguna. Di sanalah kutemukan kardus
berisi buku-buku. Sebagian sudah mendapat anugerah berupa kotoran ayam hitam
keras, karena sudah begitu lama. Kegemaranku memang mencari seperti penjelajah,
mencoba menemukan hal-hal aneh. Ini kegemaran kami di Klaimantan. Kalau di
kalimantan kami bisa menjelajah kebun yang luas atau bahkan masuk hutan,
sedangkan di Jawa hanya tersedia sedikit ruang; selain itu aku juga tidak
begitu mengenal orang-orang di sana.
Buku
kepanduan itu menarik karena ada beberapa ilustrasi anak-anak. Dan aku, sebelum
itu, tidak pernah namanya membaca buku hingga akhir, sebab memang sulit
menemukan bahan bacaan menarik di kalimantan. Paling banter kami membaca
beberapa buku di perpustakaan SD, yang baru ada saat aku kelas 5. Karena
bacaannya sangat sedikit, kami hanya membaca buku-buku yang sama…dan parahnya,
kebanyakan kami benar-benar tidak bisa membaca hingga kelas 5. Mengeja mungkin
bisa, tapi memahami satu kalimat apalagi satu pargraf adalah suatu anugerah
yang jauh-jauh dari kami. Dan aku, hingga kelas 5, masih agak sulit memahami
kesatuan paragraf. Kami lebih suka mendengar anak lain yang paling lancar untuk
membacakannya di sebuah lingkaran. Biasanya yang tidak bisa membaca akan
berdecak kagum, termasuk aku, mengetahui ada suatu cerita yang begitu menarik
(kebanyakan adalah cerita peperangan antara bambu runcing melawan senapan
Belanda—dahulu sih masuk akal, sekarang tidak). Aku kadang mencoba membaca buku
itu sendiri, atau tepatnya pura-pura membaca, tapi tidak pernah bisa menarik,
bahkan aku tidak paham ceritanya. Sehingga, sering kalau dipikir-pikir anak yang
membacakan dengan menarik itu pasti seorang pembual besar, maha besar, bisa
membuat sebuah buku tak bermakna menjadi cerita hidup yang mendebarkan.
Ah,
sudahlah, kembali ke kandang ayam saja. di kandang ayam itulah pertama kalinya
dalam hiduku aku membaca buku hingga tamat. Seolah, kandang itu menjadi
perpustakaan tersendiri. Perlu berhari-hari untuk menyelesaikan buku setebal
300-an halaman. Biasanya aku hanya mampu membaca 5-10 lembar dalam sehari,
kadang kurang. Ditemani ayam-ayam yang kadang kurang ajar, mendatangimu dan
pura-pura baik, lalu membuang kotoran di dekatmu, kotoran yang bau; biasanya
disebut “telek lencung”, suatu kondisi kotoran ayam yang encer kehitaman dan
baunya paling menyengat di antara semua jenis kotoran ayam. Dan di antara
kotoran itulah biasanya aku membaca, sehabis pulang sekolah dan mengganti air
minum ayam.
Maka,
setelah buku itu, tampaknya semua buku dengan ejaan lama bisa kupahami. Sebab,
pertama kali membaca buku itu aku masih membunyikan “jang” tetap jang dan bukan
yang; “tjerita” menjadi te jerita dan bukan cerita; “djembatan” menjadi
dejembatan dan bukan jembatan. Beberapa tahun setelah itu baru aku paham
mengenai adanya suatu “ejaan yang disempurnakan.”
Dan buku
“djurnalistik” itu menjadi menarik salah satunya karena ejaan, agaknya sih.
Meskipun kupikir tetap saja kata “djurnalistik” itu keren dan mahapenting.
Waktu itu aku yakin di antara teman-teman SMP-ku hanya aku yang tahu apa itu
“Djurnalistik”. Yeah, seolah hanya ada satu buku “djurnalistik” di dunia ini
dan buku itu ada di tanganku.
Di dalam
buku itu tampaknya pekerjaan jurnalistik itu sesuatu yang penting, sekalipun
aku belum juga mengerti bahwa kata lain dari jurnalis adalah wartawan.
Lama-kelamaan aku paham sedikit mengenai jurnalisme dan beberapa hal mengenai
tugas pokok jurnalis, keren kan? Dan hanya satu yang kuinginkan kala itu,
menjadi “djurnalis.” Sekalipun sebenarnya aku lebih suka menjadi pelukis atau
koki.
Hal lain
yang menyebabkan aku ingin menjadi jurnalis adalah … karena dengan itu aku
tidak perlu lagi mengatakan kepada guru bahwa aku bercita-cita menjadi tentara
atau pilot atau dokter atau guru
(kelihatannya semua anak bercita-cita menjadi itu), aku bisa bercita-cita
menjadi jurnalis, suatu profesi yang anak-anak lain tidak bakal menduganya
sehingga aku akan terlihat cerdas. Hahahahaha.
Perihal
cita-cita memang menjadi sesuatu yang orangtua kami tekankan karena satu
alasan; mereka tidak ingin melihat anak-anaknya jadi seperti orangtuanya. Klise
sih, tapi tampaknya harus dihargai semua anak. Ibuku biasanya menekankan agar
aku bisa menjadi tentara atau pilot, ataun setidaknya “pintar bahasa inggris”
seperti pakdeku yang di Jakarta. Tampaknya dia orang pertama di keluarga ibu
yang punya gelar sarjana. Kemudian hari aku baru tahu perjuangannya lebih keras
daripada yang aku lakukan. Sedangkan ayahku tidak banyak memberikan petunjuk
tentang menjadi apa, hanya asal jadi lebih baik saja. Maklumlah, dia hanya
lulusan SD/MI, meski aku kadang meragukan apakah dia lulus atau hanya sampai
kelas 3. Tak penting itu.
Keinginan
menjadi jurnalis itu, yang kemudian kuketahui berpadanan dengan kata wartawan
saat sudah SMA, yang aku pelihara hingga kuliah. Yeah, makanya kan aku ambil
jurusan komunikasi. Sebetulnya aku mencari jurusan jurnalistik, dan sulit
sekali menemukan jurusan jurnalistik di Indonesia ini. Yang aku tahu hanya ada
di Undap, Bandung. Tapi untuk mengambil kuliah di Unpad aku perlu berpikir
ulang, karena tampaknya perlu biaya yang besar sekali. Lebih baik aku kuliah di
jakarta daripada di Bandung. Tapi, akhirnya aku temukan sedikit pencerahan;
bahwa sebetulnya jurusan jurnalistik itu sama dengan jurusan komunikasi (yeah,
tidak begitu sama sih, konotatif lah).
Selama
kuliah aku memang hanya mengkonsentrasikan diri pada hal itu, jurnalistik,
titik. Meskipun, ada satu hal lain yang mengangguku sejak kelas 1 SMA; sastra.
Nah, lo … sebetulnya aku merasa jurusan inilah yang paling tepat diambil untuk
menjadi jurnalis (sebelum aku paham bahwa komunikasi lebih dekat ke kata
jurnalis). Dan memang ada satu cita-cita lagi yang lebih muda daripada
cita-cita jadi jurnalis, jadi sastrawan. Alaaaamak, sastrawan!! Sebab, pasti
ini jauh lebih jarang daripada jadi jurnalis. Kalau suatu pekerjaan jarang
peminatnya, pasti kesempatan kita juga besar kan…. Ehm, persisnya bukan karena
alasan itu, tapi karena aku merasa mendapatkan sesuatu dari sastra. Yeah, buku
tentang kepanduan, buku pertama yang kutamatkan itu, yang kukira membawaku ke
sana. Buku itu, dari segi apapun, memenuhi syarat sebagai suatu karya sastra.
Juga kemudian aku mulai kenalan dengan pak Horison… eh, majalah Horison.
Seorang guru seni lukis yang mengenalkan kami dengan majalah ini. Dia juga
mengenalkan pada jenis-jenis lukisan dan karya monumental dunia. Tapi,
sekalipun dahulu dia menyebut nama Leonardo atau van Gogh atau Picasso atau Monet. Tapi aku belum mengerti
betul posisi mereka di jagat. Aku hanya suka membuat sketsa dan sebagian
cita-citaku ada di kata “pelukis.” Sementara aku membuang kata “koki.”
Selain
lukis, guru itu mengenalkan pada nama-nama sastrawan besar, dari Chairil Anwar
hingga Montigo Busye. Dan sungguh nama-nama yang membuatku penasaran dan
berhasil menyekapku di perpustakaan. Itu perpustakaan terbaik pertama yang aku
temukan. Kalah jauh sih dengan perpustakaan kampus, tapi makna besarnya bagiku
jelas lain. Di sana aku menemuka buku-buku roman Suropati hingga sajak-sajak
terjemahan. Oedipus. Nama yang menarik dan terus-terusan kucari di perpus itu,
sekalipun hanya menemukan satu buku. Rendra. Dan sajak-sajaknya yang bergelora.
Dan malahan aku terlambat mengenal Chairil…atau sebetulnya aku sudah tidak lagi
menaruh minat pada si binatang jalang. Aku membacanya secara lebih lengkap
setelah kuliah saja, itupun karena takut dikira tidak baca Chairil oleh
teman-teman di kampus. Aku lebih menyukai cerita-cerita terjemahan, atau sajak
terjemahan, dan selalu memfotokopi tiap sajak terjemahan yang kutemukan di
Horison. Dan akhirnya aku fotokopi tiap sajak yang dimuat Horison. Hingga aku
akhirnya mengirim sajak dan dimuat. Itu yang membuatku terganggu dengan kata
“sastrawan,” yang kukira bisa menjadi suatu pekerjaan. Nyatanya sastrawan
bukanlah pekerjaan, tidak ada kantor yang mengumumkan lowongan pekerjaan
sebagai sastrawan. Tapi, kenapa mereka hidup ya, padahal kan tidak ada
pekerjaan untuk mereka.
Bersambung ….
Tidak ada komentar
Posting Komentar