Mendjadi djurnalis 2

Sambungan…. Yang barangkali tidak begitu nyambung.

Baiklah, aku akui cita-cita aneh itu adalah menjadi sastrawan. Tak sekalipun kujumpai temanku yang mengatakan dirinya pengin menjadi sastrawan; lebih karena mereka tidak tahu bidang apakah itu. Dan aku juga meragukan bahwa menjadi seperti itu bisa dibenarkan dalam dunia kerja tapi kukira itu sesuatu yang baik; artinya aku sudah bergerak di jalur yang benar untuk menjadi manusia aneh (sebutan yang di kemudian hari mulai akrab ditujukan padaku).

Sebab kenapa aku ingin menjadi sastrawan bisa juga muncul dari kekecewaanku gagal masuk ke ekskul jurnalistik, yang membuatku mengira mereka itu tidak bisa apa-apa selain mengatakan apa yang dilakukannya adalah jurnalisme. Dan akhirnya memang terbukti mereka tidak bisa berbuat apa-apa; gagal menerbitkan majalah sekolah. Itu salah satu kegembiraanku melihat penderitaan orang lain, sebab penolakan mereka itu seolah mengatakan padaku “kau tak pantas mendekati jurnalistik.” Ahahahaha, kelihatannya aku jahat sekali; tapi harus kuakui sinisme mulai muncul sejak itu sebagai bentuk … entah kekecewaan ataukah perlawanan.



Yang aku ingat bahwa aku mulai meninggalkan cita-citaku sebagai jurnalis dan mulai mendalami puisi dan prosa lebih dari segalanya. Aku jatuh cinta pada majalah horison, aku mulai mengenal sapardi, aku tahu siapa emha, aku menjamah taufik ismail, dan coba kuintip joni ariadinata. Sebelumnya aku mulai menekuni roman-roman lama seperti suropati dan tiba pada “atheis” yang membuatku kagum bahwa di indonesia ada satu jaman pergolakan yang dikenal dengan polemik kebudayaan. Kukira, waktu itu aku benar-benar merasa cerdas dengan membaca buku yang sebetulnya tidaklah terlalu aku pahami. Tapi, tetap saja, “sastrawan” memiliki mantra tersendiri.


Ada juga di antara alasanku memilih tujuan itu karena aku terjerumus di jurusan IPS. Sebetulnya aku tak mempermasalahkan apa itu ips atau ipa atau bahasa, tapi di kelas baru itu kudapati pemberontakan yang benar-benar menyegarkan. Aku bukan si bengal yang kelihatan urakan, hanya pelamun akut yang duduk di kelas dan tidak pernah ingin mendengar angka-angka fiktif dari akuntansi; maka kegiatanku di bangku belakang adalah membaca buku-buku roman di samping komik. Di ips aku mendapat kesempatan yang mungkin tak akan kuperoleh di kelas yang lain; duduk di belakang dan tak diperhatikan. Aku hanya minat pada pelajaran yang bisa membuatku bicara dan diberi tepuk tangan, hahahahahak. Biasanya selain tatanegara, antropologi dan sosiologi adalah milikku, sekalipun aku membenci ujian, segala jenis ujian. Bisa berbicara di kelas dengan keyakinan sendiri dan bukan hasil hapalan buku adalah hal yang menyenangkan, siapapun pasti bisa menikmati saat-saat dimana dia merasa menguasai dirinya, mengendalikan kata-katanya dan menyakinkan orang lain dengan serius; itu membuatku cenderung ketagihan. Yeah, aku tahu itu kesombongan, aku tahu setan mendekat, dan mereka menepuk-nepuk punggungku alih-alih pujian malaikat. Di kemudian hari aku, sekalipun lebih dikenal karena sebagai pendiam, menikmati setiap kata yang bisa kukendalikan dan kukatakan dengan sedemikian yakin.

Aku mulai menulis sajak sejak kelas dua cerpen pada kelas satu. Ada juga sajak yang kubuat semasa smp. Tapi sungguh aku berterimakasih pada perpustakaan sma dan penjaga yang baik yang mau mencarikan majalah horison lawas dan memberiku kesempatan meminjam lebih banyak dibanding siswa lain. Dan aku tak pernah menulis berita, tak membaca koran, tidak juga menikmati berita televisi.  Maka tak ada alasan bagiku untuk menjaga keinginanku menjadi jurnalis.

Dan, kukira memang sudah sulit mendapatkan kembali keinginan menjadi jurnalis ketika tulisanku mulai dimuat horison dan tabloid “anak muda.” Kukira aku waktu itu yang kutekuni sudah menjurus pada dua hal; filsafat dan sosiologi/antropologi. Yeah, kukira, lagi-lagi, karena tak banyak orang menjamahnya, dengan begitu kesempatan untuk menjadi yang paling bagus ada. Aku tidak begitu suka kompetisi, karenanya kupilih mengambil jalur-jalur di mana aku hanya sendiri. Hingga akhirnya sma hampir selesai dan kau dipaksa memilih kuliah, tanpa alternatif lain. Kukira aku memang sudah tidak memberi izin pada pilihan lain, sekalipun tidak ada kemampuan orangtuaku membiayai kuliah. Pokoknya tidak ada pilihan lain. Dan benar-benar sudah kurancang apa yang hendak kulakukan di saat kuliah nanti, salah satu skemanya ialah aku akan menjadi pengamen untuk bertahan hidup di suatu kota antah berantah dengan jurusan kuliah yang belum kutentukan.

Bahkan aku tidak peduli pada ujian nasional yang terdengar menakutkan. Aku hanya peduli pada spmb, ujian masuk perguruan tinggi. Aku belajar untuk itu, dan bukan untuk ujian nasional. ah, belajar… aku tidak begitu menyukainya, tapi demi hal-hal macam itu aku kembali bertekun dengan buku-buku soal. Semuanya tampak mirip sih, hanya lima pilihan dan tidak ada esai di belakangnya. Kelihatannya memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sekalipun aku jarang masuk rangking 10 besar di kelas semasa sma. Sekalipun aku mendapat kejutan di akhir ujian nasional, masuk lima besar di sekolah…dan kumaki guruku yang memasukkan aku ke daftar tesebut. Aku hanya ingin masuk kuliah (sesuatu yang kedengarannya keren sekali).

Di antara pilihan jurusan perguruan tinggi itu… seharusnya aku memilih sastra indonesia, ya kan? Saat itulah tiba-tiba terlintas lagi keinginanku menjadi jurnalis, sebab aku membaca sejarah beberapa sastrawan adalah juga jurnalis. Jarang sekali aku membaca seorang lulusan sastra indonesia yang jadi sastrawan. Karenanya, aku meragukan jurusan sastra sebagai penghasil sastrawan… GM itu sosiologi, tak lulus. Emha itu ekonomi, tak lulus. Joni Ariadinata itu tukang becak, lulus. Taufik ismail itu kedokteran hewan, lulus. Ashadi siregar itu jurnalistik, lulus.

Yeah, akhirnya dari sekian data jurusan perguruan tingga kutemukan jurusan jurnalistik, Unpad. Di mana itu? Bandung? Ah, siapa di sana? Aku tidak tahu betul soal bandung sekalipun oranguaku pernah cukup lama tinggal di kota yang katanya dingin itu. Bandung, kota itu asing benar. Hingga akhirnya aku tahu padanan kata jurnalistik dalam hal jurusan itu adalah ilmu komunikasi; sekalipun aku ragu, benarkah di sana ada jurnalisme?

Sebetulnya hanya ada sedikit pilihan dalam kepalaku—setelah semua kakak kelas yang didatangkan untuk mencermahi kami perihal perguruan tinggi mana yang layak dituju, yakni UI, UGM, Unpad, ITB, IPB, dan mungkin boleh juga UNS. Jadi, kawan, sudah ada di kepalaku, kalau tak masuk ke sana sebaiknya aku mulai berpikir untuk membantu ayahku berdagang di pasar saja. Toh, orangtuaku sama sekali tidak menampakkan gelagat menyukai ide untuk melanjutkan sekolah, mereka justru tampak murung dan bertanya-tanya soal biaya dan tetek bengek lainnya.

Akhirnya aku pilih ke jogja demi sebuah kepraktisan jarak dengan rumah. Dan eng ing eng (bagian ini perlu disingkat, termasuk perihal 1 bulan tinggal di Solo)… aku diterima. Kukabari ayahku secara langsung. Yeah, sebetulnya cukup bagiku membeli koran dan melihat nomorku. Tapi kupaksakan pergi ke solo demi sesuatu yang mungkin akan menyenangkanku. Padahal, aku juga membeli koran yang memuat pengumuman itu, tapi aku tak mencari namaku di sana. Aku pilih ke UNS dan mendapatkan lembaran pengumuman yang ‘asli.’ Dari solo aku langsung ke tempat ayahku di karanggede, sebelum pulang kembali ke ampel. Ayahku hanya tersenyum dan menanyakan bagaimana selanjutnya, berapa biayanya, dan kutunjukkan pengumuman yang memuat biaya daftar ulang di ugm. Di sana tercantum, kurang dari satu juta… jadi kukira kami bisa membayarnya. Ah, akhirnya kuliah; bagaimana sih rasanya tahu kamu diterima sebuah perguruan tinggi? Rumit, terutama kalau kau hanya tahu sedikit tempat yang akan kau tuju dan hanya punya sedikit uang untuk ke sana. Belum pernah sekalipun aku lihat ugm sebelumnya. Aku hanya mengira-ira saja bahwa itu adalah perguruan tinggi yang sedikit lebih baik daripada UNS.

Ibuku pun masih selalu mempermasalahkan di mana aku akan tinggal, berapa biaya kosan, dan macam-macam. Aku tidak peduli, aku hanya ingin kuliah. Titik. Yeah, bahkan aku tidak mau tahu darimana mendapatkan uang daftar ulang.

Sampai tiba saatnya aku ke jogja. Beberapa hari sebelum itu aku sudah diajak ke sana oleh sepupuku, diantar dengan motor untuk melihat kampus fisipol dan dipertemukan dengan saudara jauh yang membuka sebuah tempat kursusan bahasa inggris, cabang dari jakarta. Rencananya aku akan tinggal di sana, sementara, bersama dua orang karyawannya, di daerah condong catur. Dan tempat itu benar-benar jauh dari kampus.  Beberapa kali aku jalan kaki, kira-kiran 1 jam lebih. Ukurlah sendiri berapa kilometer.

Sebetulnya, proses daftar ulang itu sesuatu yang sangat mengecewakanku, aku hampir membenci kampus itu. Aku berangkat dengan kegembiraan, pagi-pagi…tanpa sempat sarapan. Kubawa uang yang banyak sekali… 700an ribu adalah nilai yang sangat besar dan terbesar yang kubawa di usia itu. Jadi, gimana sih rasanya membawa semacam ‘harta karun’ di dalam tas?

Perjalanan itu cukup panjang, kira-kiran 3 jam… dan itu perjalanan pertamaku, sendiri, ke jogja… dan aku hanya sarapan dengan kegembiraan saja. sampai di ugm sudah agak siang. Aku tidak tahu di mana tempat daftar ulang. Aku memutari kampus yang luas itu tiga kali, dua kali naik bis berputar dan satu kali jalan kaki. Dua kali masuk bank yang salah, dan beberapa kali bertanya dan masih saja tersesat.

Hingga kira-kira pukul 2 siang baru bisa kutemukan tempat daftar ulang. Antrian panjang dan panas. Dan aku hanya makan kegembiraan, tak ada nasi atau apapun yang sempat kumasukkan dalam perutku. Dan sampai di loket pembayaran … semua beres, kecuali jumlah uangku! Edan, aku ketakutan sendiri … uangku kurang, padahal itu hari pembayaran untuk jurusanku.

Kenapa bisa kurang? Ternyata mereka mengubah angkanya, mereka menambahi lagi 500 ribu! Alamak… gimana sih rasanya, berangkat pagi-pagi dengan kegembiraan, dengan segepok uang (sebagian besar lembaran ribuan yang dirampok dari brankas toko orangtuamu), tersesat di sebuah kota asing, berjalan kaki berjam-jam hanya untuk mengelilingi kampus sialan, dan kamu ditolak di depan loket, di antara pendaftar-pendaftar lain yang mungkin kelebihan uang. Kalau hanya ingin menangis sih iya… itu sudah jam 3 sore yang panas bukan kepalang, terutama di dalam kepalamu… dan kamu mental begitu saja di depan loket yang seharusnya memberimu status baru, mahasiswa! Bahkan, kukira aku tampak seperti pengemis, meminta kekurangannya dibayar belakangan…tapi tak bisa kata orang di belakang loket. Itu uang paling banyak yang bisa kubawa.

Terseok-seok aku pulang… kakiku yang di dalam sepatu kulit lebih panas dari apapun, rasanya. Kepalaku pening… pulang! Sampai rumah sudah mahrib, dan aku belum makan seharian. Dan sudah kuduga orangtuaku kaget bukan kepalang, darimana dapat 500 ribu dalam semalam, sialan! Budeku bahkan menyumbang dengan seplastik uang receh. Ini betul-betul uang receh yang dibuntal plastik per seribuan. Entah berapa jumlahnya… tapi kuterima, antara malu dan senang. Dan memang, rasanya aku ingin memberikan uang receh sebagai pembayaran, ingin kulihat kasir terkagum-kagum bagaimana aku mengumpulkan biji demi biji uang seratusan perak itu. Aku ingin dia menghitung ulang, seratus demi seratus, ingin melihatnya kepayahan. Yeah, macam itulah… sejak itu sebetulnya aku tidak punya respek dengan kampus tersebut, aku hanya sekadar kuliah sajalah … aku hanya mau jadi jurnalis, dan selesai.

Yeah, sebetulnya kan kecil ya nilai uang sejuta dua ratus sekian… tapi kalau balik ke masa tersebut, uang itu adalah harta karun terbanyak yang pernah kubawa, yang entah dipinjamkan dari mana oleh orangtua. Pakdeku yang di samping rumah sih kaya, tinggal ketuk rumah dan minta … deal, tapi orangtuaku tak pernah mau melakukannya. Tampaknya mereka lebih suka menghabiskan tabungannya daripada mampir ke sana. Dan akhirnya aku juga sadar, bahwa saudara itu nyatanya tidak pernah bisa dilihat dari hubungan darah… terutama setelah aku tinggal di Code. Aku lebih suka menganggap orang-orang pinggir kali itu saudara, dibandingkan dengan pakde2ku…. Ini dunia, bukan klan keluarga.

Maka masuklah aku ke kampus itu… ke lingkungan baru, orang-orang baru, dan cita-cita lama.

bersambung lagi ya.... hehehehehe :P