tulisan ini hanya bagian dari kesenang-senangan belaka, tidak ada nilai-nilai pancasila di dalamnya, tiada pula sopan-santun yang berharga. aku menulisnya hanya sebagai kesenangan belaka....

Dua bulan pertama kulewati sebagai reporter di koran bisnis. katakanlah ini sebuah berkah, sesuatu yg barangkali tidak banyak kusyukuri atau aku tidak sempat bersyukur karena terlanjur senang. Atau mungkin ak hanya memandangnya sebagai keberuntungan, tanpa pernah mengambil kaca mata kesialan untuk melihat dunia. Yeah, sekalipun hidupku penuh caci-maki dan keterbelakangan, aku tetap merasa jadi orang yg beruntung. Dan aku tetap merasa jadi orang dengan keberuntungan bagus di dunia, yeah... perasaan sombong yang aneh.

Di kantur itu aku belajar mengenai Jakarta. Pelarian yg kesepian selalu mencari kesempatan utnuk menghibur diri dengan belajar hal baru, seperti mencari pandangan mata pada wanita. Dan ... akhirnya aku ... nembak cewek. ckckckckck, seperti anak muda saja laki-laki keriput ini.

Yeah, ini Jakarta bro, tegurku pada diriku. Sekalipun tidak mendapatkannya, aku belajar banyak mengenai penerimaan dan kehilangan. Aku tak sempat kecewa, sebab dunia sedang berlari jauh ke dalam rimba ibukota.... dan aku masih merasa beruntung.

Ah ya, dunia macam apa ini. Kau merasa beruntung? Padahal kau tetap sendiri dan sepi, seperti tak ingin terjamah 'cinta'. Dan siapakah perempuan2 di luar sana yg membuatku merasa seperti itu? Kadang, aku berpikir bahwa itu semua hanya sebuah keberuntungan yg tak layak kuterima. Apalah aku ini, laki-laki yg begitu tak punya ambisi, penuh keraguan, dan mudah menyerah; maka sejak kapan aku berhak mendapat keistimewaan di dunia? Bukankah dunia untuk orang-orang yang ingin menang, yang punya hasrat kuasa, yg berjuang dengan keras setiap hari untuk tiap sen atau tiap sesapan napas? Dan merekalah yang akan mendapatkan perempuan! Ayo, silahkan, koleksi saja mereka!

Aku lebih berhak atas sepi. Kukira aku hanya ingin memandang diriku dalam keadaan sakit dan mati begitu saja tanpa meninggalkan apa-apa. Penyakit syaraf akut lebih layak kumiliki daripada kerendahhatian atau kesabaran untuk menhadapi hidup. Toh, semua itu tak akan ada bedanya... hanya membuat satu orang dalam statistik dunia hilang, dan tiap hari ada ribuan orang hilang dari dunia tanpa pernah membuat dunia berpaling pada kehilangan.


Dua bulan ini aku menikmati sedu sedan dan kegembiraan. Aku ditolak dan tetap gembiran dengan segalanya, seolah penderitaan yang kulihat hanyalah mainan kecil di antara mainan yang lain. Aku mengingat tangis orang lain seolah tiada terjadi apa-apa. Dan itu selalu mengingatkanku ke masa lalu, aku sering menyakiti orang lain tanpa aku tahu bahwa aku menyakiti mereka atau bahkan tanpa aku berbuat apa-apa. Tidak melakukan apa2 dan kau dianggap merusak sesuatu?! Meyedihkan. Dan itu terkait dengan perempuan; oh shit... apa dunia ini hanya soal perempuan? Pada kenyataanya aku lebih banyak memikirkan hal itu daripada harga emas atau kenaikan harga gandum #sick.


Harus kuingatkan pada diriku, entah sekian tahun lalu, saat aku berjanji tidak akan menyakiti perempuan lagi, saat aku tak akan menolak mereka yg mencintai, toh cintaku sendiri selalu betepuk sebelah tangan. tapi, lihatlah pembohong satu ini, dia tertawa seperti setan saat dihadapkan pada perempuan yang menyukainya... seolah dia akan hidup sebagai seorang pelacur abadi, yang kesepian di hadapan pelanggan-pelanggannya.

Ah ya, dunia macam apa ini? Aku harusnya bisa memahami perasaan perempuan yang menyimpan emas di dalam hatinya, yg dipertahankannya untukku bahkan hingga beberapa hari menjelang pernikahannya. Atau bahkan ia menyimpannya untukku hingga anak-anaknya tumbuh dan berlari-lari. Eh, mungkin aku tak berhak mengatakan bahwa mereka memiliki sesuatu untukku di hatinya. Yang jelas aku telah jadi bagian atau bahkan sumber rasa sakit. Pantas kiranya jika Intan pernah bilang bahwa hatiku terbuat dari batu.

Ah, dunia macam apa ini? Tak bolehkah kita memiliki hati yang terbuat dari batu?

Dua bulan telah lalu, aku ingin mengaca sejenak. Dan mei juga telah lewat. Mei yang selalu kusukai...tak lebih dari sebulan bertekur dengan mereka berita-berita, menghadapi keluhan orang-orang yang ditimpali optimisme analis. Harga emas melambung dan apakah kita memiliki jiwa yang berharga lebih daripada emas batangan? Hah!? Dunia macam apa ini?!

Bahkan aku lupa caranya menangis. Oh, kadang aku rindu menangis di malam yang sepi sambil mendengar pemberontakan di dalam hati atau mendengar cakap ida dan angga. Kadang, mengingat anak-anak itu saja sudah akan membuatku terisak. Kini, entah apa yg terjadi pada kedua belah mataku yang mulai rabun. Oh, lihat betapa membatunya hatiku...entah tulang pahat mana yang bisa membentuknya.

Ini akan jadi curhat vulgar...(Vulgar hanyalah sebuah perspektif). Terutama, karena tiba-tiba aku ingin membagikannya pada orang lain... Orang yang telah kuskiti, tampaknya. Uh,.

Baiklah, dua bulan berlalu. Kenapa dua bulan? Sebab momen dua bulan lalu cukup bisa mengubahku...meski aku belum melihat tanda-tanda yg nyata kecuali pada penggunaan balckberry dan lingkungan kerja. yeah....

Saat itu mungkin hidupku terlihat baik-baik saja. Aku berangkat pagi hari dan memasuki kantor, absen, baca koran, minum kopi, dan menulis blog. Tugas-tugasku tak lebih dripada kebiasaan. Dan tiba saat dikatakan ttg pengangkatan karyawan, lalu bbrapa hari kemudian berubah, lalu kami ditawari posisi lain, lalu proses rekrutmen, lalu aku diterima, lalu ditolak, lalu ditrima lagi, lalu mesti menghadapi wajah-wajah redpel yg dingin dan enggan menyapa pada seorang carep yg melalui sebuah proses perekrutan yang aneh. Dan aku tetap gembira, bahkan mungkin jauh lebih gembira dariapada siapapun, saat menghadapi kemungkinan keterkucilanku di redaksi. Tapi aku mendapat teman-teman yg luar biasa, dan tiba-tiba aku seperti anak emas....benar-benar seperti anak kecil saat seorang atasan berpesan pada orang lain, "tolong taufik dijaga ya di atas (lantai7)!" Ah, apa ini? Dan seorang direksi telah campur tangan dalam sebuah rekrutmen. Sakit apa mereka sampai peduli pada orang yg tak tahu cara berterimakasih.

Ah ya, dunia macam itulah yg kau lewati, hai setan kecil! Dan kau tetap tidak tahu caranya sekadar berterimakasih. Kelihatannya aku memang sakit.

Kukira memang ada sisa-sisa inferioritas khas orang-orang kalah dalam diriku, inferioritas yg justru membuatku tidak takut pada apapun. Suatu bentuk ketidakpedulian di saat menghadapi berbagai risiko. Atau sebaliknya? Aku terlalu percaya diri?

Kukira aku sedikit kehilangan rasa takut menghadapi masa depan, karena aku telah memangkas harapan-harapanku sendiri. Tak ada yg perlu dikhawatirkan tentang dunia, aku akan menghadapinya di sini, sampai pada titik penghabisan napasku. Aku tak takut pada kenyataan, bahkan jika itu kita sebut kematian. Karena orang-orang yang telah berhenti berharap tidak lagi mengenal kejatuhan, mereka hidup untuk hari ini, hidup untuk menyambung sisa napas kemarin, dan enggan berharap pada fungsi napas untuk esok hari. Mereka enggan memikirkan pengandaian; seandainya aku mati gimana dengan....bla bla bla, itu semua omong kosong. Orang macam ini, atau aku, tak mau lagi tertipu dengan mimpi... Biar saja seluruh dunia mengatakan mimpi itu yang membuat manusia berkembang. Konsepsiku tentang itu berbeda, dan aku membawa tubuhku sendiri, karerna itu tanggungjawabku adalah pada tubuh pinjaman ini.

Oh, lihat...dua bulan. tidak, kurasa bukan krn dua bulan itu maka aku melihat diriku begini. ada proses penunjang di balik setiap perubahan.

##
Dua bulan...kelihatannya sarkasme-ku bbrpa tahun lalu akan menjelma sesuatu yg berbahaya, mungkin jd fatalis. Aku bahkan benci menyebut keterlibatan tuhan dalam hidup...saat orang-orang yang mestinya lebih terlibat dalam hidup malah disingkirkan keterlibatannya. Aku benci menyebut namanya karena orang-orang menghapuskan peran manusia saat menggantinya dg peran tuhan. Ah dunia macam apa yg begitu percaya pada peran tuhan??? Kitalah yang harusnya lebih dahulu berperan...bahkan sampai titik napas penghabisan, bahkan untuk hasil-hasil yang buruk. Bahkan tuhan tidak akan turun hanya u mengatakan mana yang adil...bahkan kalau dunia dipenuhi ketidakadilan, itu adalah masalah manusia, tidak pernah jd masalah tuhan. Hai bung, hiduplah pada kenyataan! Jangan berharap pada kenyataan tuhan...

Ah, sial...kelihatannya sifat asliku keluar, setan kecil itu bangun dan merusak semuanya.

Taufikul....