Sudah malam. Jakarta berkedip-kedip seperti ribuan kunang. Di jalan, lampu-lampu berkejaran dengan suara klakson yang terlambat pulang. di sudut-sudut, waria ribut dengan pelanggan. Pelacur membuka ladang di balik celana dalam. Dan polisi meniup peluit makin pelan, makin ke dekat tempat hiburan.

Aku belum pulang, belum sanggup melepaskan kata-kata dari selembar kertas khayalan. Oh, di sana kutemukan sedikit kedamaian yang duduk melamun sendirian. Wajahnya serupa kamboja berbalut tanah makam, kumal tapi senyap.

Siapa bilang kedamaian sendirian, buktinya aku datang dan merekat ke badan tanpa tulang, lentur seperti bayang-bayang dari sebuah lilin di sudut makam. Ya, di sudut makam Karet itu ia duduk melamun. Bentuknya serupa laki-laki tua beruban, kulitnya coklat mengkilap, memantulkan kegelapan. Dan sekarang dia duduk di dalam kertas ini, menungguiku agar segera pulang.

Laki-laki itu seperti tidak memiliki mata, sebab kegelapan selalu menyembunyikan wajah coklat gelap satu-satunya yang dimiliki. Dia seperti menembang dalam kebisuan, menatap jauh ke hamparan nisan, mengabarkan umurnya yang karatan. Dunia ini satu-satunya yang kumiliki, demikian ia bercerita pada sebuah makam. Kalau aku mati, yang kutinggalkan hanya dunia semata wayang, dunia yang terhampar dari satu nisan ke nisan yang lain. Dan ia nyalakan lilin itu di dekat makam, seolah ingin menemani yang telah berlalu.

Kedamaian, kusapa ia yang duduk menatap nisan, bagiamana ubanmu tumbuh dan kau tetap tidak risau?

Ia tampak lelah. Dunia mungkin akan risau kehilangan laki-laki tua karatan yang tidak memiliki pasangan. Dan malam pasti akan kesepian kalau laki-laki itu tak lagi menemaninya bergadang, tak akan ada lagi yang menatap kuburan dalam kekosongan. Dan sekarang ia nongkrong di kertasku, seperti ingin menemani tapi ragu, seperti ingin bersamaku tapi enggan mengaku. Ah, baiklah laki-laki penjaga kuburan, kutanyakan lagi padamu perihal uban yang tumbuh di atas daratan kepala coklatmu. Mau kah kau tunjukkan caranya menunda sebuah uban tumbuh di sana?

Aku juga beruban, hanya satu dua. Kalau aku berkaca, kurisaukan mereka akan merajalela dan menghabisiku dengan warna perak yang kilau. Ubanku tumbuh di sisi kanan kiri, seperti ingin mengiringi aku menghabiskan waktu. Sudah ada di sana sejak aku menyadarinya, telah bertahun-tahun yang lalu, dan semakin menganggu penampilanku. Kau tahu, hai laki-laki tua coklat kehitaman, bahwa aku membeci uban seperti membenci habisnya waktu. Karena itulah, ajari aku menerima perampokan kepala yang hitam oleh sejumlah uban nakal ini. Nanti kutemani kau menatap makam, siapa tahu kita temukan Maryam menunggui Yesus bangkit dari salah satu nisan.

Oke, aku pulang!
14-1-2011

[oleh jiwa yang lain]