Entah bagaimana, aku masih terus dibayangi adegan tiga bocah perempuan membaca doa di atas makam milik ibu mereka, kukira. Seorang ayah kumal dengan sandal jepit berbalut lumpur, dan dua laki-laki coklat berpeci. Mereka membaca doa pada sebuah makam bertuliskan nama seorang wanita yang meninggal beberapa hari lalu. Kalau kuingat sosok tiga bocah perempuan, kubayangkan bahwa ibu itu meninggal karena melahirkan adik terkecil mereka. Entahlah.

Di kuburan karet pasar baru itu memang banyak nama, banyak kematian di arahkan ke sana. Ada beberapa makam bertumpuk, seolah tidak peduli pada penghuni lama. Tapi jelas bahwa adegan tiga bocah berdoa adalah sebuah peristiwa tersendiri, peristiwa yang tetap akan ada di sana, di atas makam basah seorang wanita, yang mungkin meninggal karena melahirkan adik keci dari tiga bocah perempuan.

Tak kulihat tangis dari sepasang mata masing-masing, hanya saja satu bentuk sepi melingkar-lingkar di suasana pagi itu. Seolah, sejak mereka ditinggal seorang ibu, sepi mengasuh ketiganya, dan mengambil ayah satu-satunya sebagai teman selingkuhan. Hah, diselingkuhi sepi bukanlah hal yang membahagiakan, bahkan lebih getir daripada kesendirian.

Itu hanya kekhawatiranku saja, sebab aku tidak mengetahui perihal hidup tiga bocah perempuan yang ditinggal mati ibunya. Sebab aku hanya berpapas dengan sosok mereka yang berdoa, berharap pada yang kuasa. Tapi, bahkan sekadar berpapasan pun bisa menimbulkan goncangan yang tidak pernah kita sangka.

Mungkin ini tidak hanya terjadi manakala kita bertemu sang sedih, juga bisa terjadi ketika kita bersitatap dengan perempuan di jembatan penyebrangan. Atau dengan sosok tua yang menatap tanah di depan jatinegara. Sosok yang seperti malu pada manusia, malu dengan segala kelusuhan yang dimiliki, dan hanya kelusuhanlah satu-satunya hak milik yang tidak mungkin direbut negara. Sosok yang biasanya berselimut dingin, berbaju kehilangan, dan berjalan dengan kaki kehilangan.