Jakarta: Kini aku mencoba mengakrabi ilmu duit. Sekalipun ada perasaan aneh yang terbentuk antara aku dengan semua soal kapitalisme ini, aku kerap mencoba netral dalam usaha memahami seluruh permainan (usaha yg sia2). Beruntung aku masuk di institusi media, tempat segala sesuatu dibahas untuk ditampilkan sebagai sajian, tempat hal-hal tertentu ditonjolkan dan hal-hal lain disembunyikan.

Masuk ke sebuah institusi media yang tiap hari membahas soal ekonomi tidak begitu kubayangkan sebelumnya. Meski dahulu aku suka sekali membaca ulasan pasar saham, namun aku menganggapnya hanya sebagai sebuah cerita pendek mengenai satu sudut di indonesia. Di sini aku mulai mengenal mahluk-mahluk baru, singkatan-singkatan aneh, dan perhitungan yang menipu. Aku belajar membuat kalkulasi drama sosial dalam hitung-hitungan untung rugi. Aku tahu jumlah orang miskin, tapi tidak tahu apa itu miskin sejati.

Aku mencoba sadar bahwa yang dibutuhkan orang-orang miskin adalah ilmu ekonomi dan bukan kerja keras yang membuat mereka lebih cepat mati. Kesadaran ini kubangun dengan sedikit berhati-hati, mengingat betapa buruknya sistem kapitalisme ini. Bahkan, negara yang mencoba memungut pajak dari para pemilik modal pun akhirnya dikibuli. Seluruh pajak dibayar oleh konsumen, sekalipun secara terselubung. Tiap liter minyak goreng yang dihasilkan dari ribuah hektar sawit, yang seharusnya menjadi hutan dan habitat beragam tanaman dan hewan kini hanya jadi sekumpulan pohon sawit yang dihuni babi, dibayar dengan kerja keras oleh para konsumen.

Itu mengingatkanku pada kupu-kupu.

Kupu-kupu di kalimantan dulu dihasilkan dari hutan-hutan, dari keragaman jenis daun dan jenis madu bunga. Mereka berkumpul di tanah yang lembab seperti sedang menyusun undang-undang mengenai siapa saja yang berhak menempelkan telur pada daun tertentu. Ratusan kupu-kupu aneka warna akan menjadi satu, menjadi pelangi yang bubar manakala aku datangi.

Dan kupu-kupu itu pasti sudah pergi karena hutan-hutan itu ditumbuhi daun sawit yang kaku dan keras, yang tak mungkin dimakan ulat.

Itu juga mengingatkanku pada sepasang elang yang berumah di atas sebuah pohon yang teramat tinggi yang tumbuh di tengah ladang kami. Sekira seratus meter dari tanah elang itu membuat sarang dari potongan kayu kering. Tiap siang ia terbeng melingkar, menjaga induk yang mengerami telur. Dan pada suatu sore, beberapa orang membawa gergaji mesin menebang pohon besar itu. tak ada yang ditinggalkan kecuali sebuah penampang pohon seluas rumah tempat anak-anak mencoba mengenang sepasang elang.

Dan kini aku berada di jakarta, kota yang tumbuh dengan menyerap segala sesuatu di indonesia, mulai dari pelacur indramayu sampai emas dari nusa tenggara. Tidak ada pohon besar di jakarta, tidak juga sepasang elang yang terbang melingkarinya. Tidak ada serombongan kupu-kupu yang menyesap tanah lembab, hanya hujan yang memantul di kaca-kaca. Tidak juga suara chin saw yang meraung-raung tiap siang untuk menebas pohon-pohon, hanya deru kendaraan yang berebut porsi jalan raya. Aku tak lagi berlari mengejar mobil yang datang untuk menuliskan nama di kaca berdebu seperti dulu, justru menghindarinya agar tidak terserang warna abu-abu.

Ini jakarta, tempat bisnis disebut raja.