Wawancara dengan diri sendiri; mengenai sekelumit masa lalu yang terus-terusan disebutnya sebagai Code, meskipun dia tidak memahami dengan sungguh-sungguh mengenai Code itu. jawaban-jabwaban ini penuh dengan kebusukan yang tidak mungkin lahir sebagai kejujuran semata, tapi juga semacam kemunafikan untuk menyembunyikan kesalahan-kesalahannya. Kita tidak patut untuk percaya pada omongan orang sudah mencuri, namun memang ada hal-hal kecil yang bisa kita petik sebagai mahkota duri.

Sebelum membaca semua hasil wawancara imajiner ini, kami peringatkan tentang adanya penggunaan kata-kata kotor yang tidak direstui dewan agama dan moral masyarakat normal, maupun terhadap penalaran-penalaran aneh yang menyesatkan dan sama sekali tidak bisa disebut sebagai mutiara kata-kata. Orang yang diwawancarai juga sering menciderai konsep-konsep mulia dengan kepicikannya, sehingga benar-benar kami tekankan bahwa mungkin berbahaya untuk membaca secara keseluruhan wawancara ini terutama bagi saudara pembaca yang memiliki jiwa mulia, yang masih taat pada moral pada umumnya.

Bagaimana kamu bisa berada di code selama sekian tahun?

Banyak orang mungkin tahunya aku sebagai sejenis aktivis yang memang berniat terjun ke tengah-tengah begundal-begundal code. Bahkan teman-teman dekat pun akan mengira bahwa aku membawa misi sosial manakala memilih tinggal dalam komunitas pinggiran semacam rakyat code. Bagiku, semua itu omong kosong. kita! (aku dan sebagian besar kalian) hidup dalam kondisi yang sudah miskin, di lingkungan yang miskin dan sudah dituntut berjuang dalam kemiskinan sejak lahir ke dunia. Tidak ada semacam pilihan dalam soal kelahiran; kamu lahir di keluarga kaya atau keluarga miskin sama sekali tidak bisa dikompromikan. Sebab itu, aku memandang kehadiranku di sana hanya sebatas takdir yang bertemu di persimpangan jalan. Sebab orang-orang miskin cenderung dekat dengan orang-orang miskin juga, dan demikianlah aku.

Kehadiranku tidak lebih dari sebuah probabilitas. Kalian mungkin tidak sepakat, tapi kukira aku bisa berpendapat sesuai dengan yang aku pikirkan, jadi intervensi saja pikiran kalian sendiri.

Hidup tidak sekadar pilihan, sebab kita menghadapi beberapa kepastian yang tidak bisa kita usahakan, tidak bisa kita pilih. Bahkan agama juga harus bekompromi dengan kepastian. Lahir dalam keluarga islam, maka kamu islam dengan segala jenis rantai yang mengikatmu ke manapun kamu pergi. Kamu kadang merasa aman dengan rantai itu, tapi ada beberapa orang sudah memutuskan rantainya. Ada yang dengan mudah dan cepat, tapi ada juga yang berusaha mati-matian dan sampai mati betulan.

Di situlah titik dimana aku di-code-kan. Aku hanya memanfaatkan kesempatan untuk hidup dalam komunitas yang sesuai, dengan beberapa fasilitas dari beberapa pihak tertentu, dan dengan sedikit perasaan bangga bahwa pada akhirnya aku akan sedikit berguna juga. Hidup di tengah sesamamu tentu saja sesuatu yang cukup menyenangkan, kamu tidak perlu dipaksa untuk mengubah beberapa hal yang tidak sesuai sebab kamu sudah sesuai dengan mereka. Begitulah kenyataanya, aku tidak perlu dipaksa mengenakan pakaian yang selalu terlihat bersih dan berkelas karena aku di code. Aku boleh berkata dengan sisipan kata-kata seperti asu dan bajingan seperti menggunakan kata dan atau. Itu sangat menguntungkan, membuatku seperti tikus2 lainnya. Tikus mana yang senang ditempatkan di antara kucing-kucing yang selalu pergi ke salon tiap minggu?

Kenyamanan itulah yang kucari ketika aku di sana. Bahkan, di kampus pun yang tampaknya cukup egaliter, kita masih dituntut menyesuaikan diri. Dan setiap penyesuaian memerlukan biaya. Biaya sosial itu bisa material, bisa juga moral. Konsekuensinya kau menganggap kemunafikan sebatas sebagai penyesuaian diri akan norma-norma yang ada; kau pasti tidak mau mengakui bahwa dirimu begitu munafik dan tolol dalam bersikap mengenai lingkunagnmu. Kamu ingin tetap terlihat jujur dan pintar; padahal ada pertentangan besar di antara keduanya. Kau hanya perlu memalingkan muka untuk tetap merasa menjadi dirimu sendiri.

Ketika kau masuk sebuah kampus, kau melihat orang-orang lain. Tidak pernah kamu memulai dengan melihat pelajaran dari dosen. Kamu tampil. Kamu tikus yang harus berdandan di sebuah pesta keseharian. Kamu perlu sandal yang lebih bagus daripada sepasang sandal jepit. Meski pada akhirnya kamu menemukan juga bahwa sandal jepit juga sebuah gaya untuk tampil di sebuah pesta. Kamu juga perlu bicara dengan orang lain; apa kamu punya buku ini? Apa kamu pernah baca itu? apa kamu tidak makan di kantin? Apa kamu tidak salah memakai baju sehingga hanya baju-baju itu saja yang kamu kenakan di kampus? Yah, kita hidup di sebuah dunia yang penuh tuntutan abstrak. Tuntutan sosial sangat imajiner, sekaligus sangat memaksa dan menyakitkan bagi seorang individu; kecuali mereka sudah menjadi manusia sosial. Dan aku jelas mencoba menjadi manusia sosial. Itu usaha yang patut dihargai.

Dan, begitulah caranya aku menilai diriku. Caranya aku merasa nyaman berada di code, sebab mereka adalah segolongan orang yang berasal dari jenisku; jenis tikus yang sama akan bergabung untuk menghindari ancaman dari perasaan berbeda. Perbedaan, dimanapun, memiliki rasa sakitnya masing-masing.

Kalian tidak akan benar-benar memahaminya, demikian juga aku.

Kamu tidak menjawab pertanyaannya, tapi melantur pada konsep-konsep aneh. Tolong jelaskan asal mulanya kamu bisa di sana!

Itulah cara mengatakan yang lebih tepat daripada menceritakan bagaiamana kami mengangkut barang-barang dengan sebuah pik-up yang hampir kewalahan membawa semua beban itu.

Tapi, baiklah, kukira kami ke sana karena sebuah kebetulan saja. Dahulu kala, seorang teman kami sudah sering melakukan kegiatan di code di bawah bendera ghifari, yayasan yang waktu itu melakukan pendampingan anak jalanan. Dia mungkin orang yang lebih tepat menceritakan bagaimana itu semua terjadi, sebab dia memahami motivasi yang betul mengenai aktivitas kami di code. Sedangkan aku, aku hanya seorang oportunis yang memanfaatkan kesempatan mendapatkan tempat kontrakan gratis di tepi sungai. Aku selalu menyukai rumah di tepi sungai, rumah di tepi laut, rumah di dekat pantai, dan rumah yang menghadap ke danau.

Teman kami itulah yang sejatinya memiliki seluruh alasan paling logis dan benar mengenai urusan kami di code. Dia mengetahui caranya bergaul dengan anak-anak kecil bengal yang sangat tidak tahu sopan santun itu. Dan dia tahu caranya mengenal semua preman, sedangkan aku hanya tahu caranya jadi preman.

Hanya itu. tak lebih dari sebuah kebetulan=probabilitas.

Bagaimana bisa bertahan dalam sebuah masyarakat yang dipenuhi dengan nista dan kedunguan, sementara kamu berasal dari kelas terdidik, meski miskin?

Itu justru membuatku merasa besar kepala. Perasaan bahwa aku seorang dari kelas yang dapat disejajarkan dengan kelompok menengah ke atas, menjadi semacam racun yang membuatku ketagihan. Kebanggaan itu kotor. Kebangaan itu konyol, tapi itu sulit dihindari manakala kamu menghadapi sebuah dunia yang sudah kotor dan konyol. Kamu hanya perlu tersenyum dan memanfaatkan segala bentuk fasilitas sosial dari adanya status-status sosial.

Orang-orang pintar di dunia ini tidak banyak dihargai. Yang dihargai oleh masyarakat adalah orang-orang yang dianggap pintar. Dan di situlah aku berada. Memanfaatkan sebuah penghargaan yang sementara itu harus dengan sedikit kesadaran bahwa kita tidak akan beruntung selamanya. Mungkin esok mereka tahu bagaimana konyolnya dirimu sesungguhnya sehingga kamu sebetulnya tidaklah pantas disebut dalam daftar orang yang dianggap orang pintar.

Dan, sesungguhnya konyol, bahwa kita bangga dianggap pintar oleh segelintir orang yang dungu. Itu kan sama saja dengan sebuah omong kosong.

Artinya pertanyaanmu itu tidaklah tepat. Kami bertahan di code sebagai manusia yang ‘diselamatkan’ dari bahaya kegelandangan, dan bukan sebaliknya. Justru di sanalah sebetulnya kami paling bisa bertahan hidup dengan sedikit sumber daya. Sebab, semua orang tampaknya memang demikian, hidup dalam keterbatasan. Dan ketidaksendirian kami dalam keterbatasan itu membuat kami masih bisa bertahan sekian tahun. Coba bayangkan seandainya aku tidak mendapat kontrakan gratis sementara aku juga harus membayar uang kuliah dan memerlukan makan. Pastilah yang kupilih pulang ke kampung dan berlama-lama di rumah sebab jogja akan menjadi tempat bagi seseorang yang kelaparan.

Apa siksaan terberatmu?

Kehidupan itu sendiri adalah siksaan yang berat. Moralitas membuatnya jauh lebih berat. Dan agama mendorongnya untuk jadi beban. Sementara manusia menikmatinya.

Bagiku, itu hanya sebuah kisah. Tidak lebih tidak kurang. Sekelumit yang di esok hari akan hilang di antara sekian kisah yang akan musnah. Kita tidak perlu banyak berharap bahwa cerita-cerita hebat yang sesungguhnya akan dibaca orang-orang; kita hanya perlu bersyukur bahwa kita mengalaminya.

Aku benar-benar tidak memahami hal-hal berat seperti yang kau tanyakan. Di code semua hal sudah berat sehingga sejatinya tidak ada yang berat bagi kami, sebab itu keseharian kami. Aku hidup seperti sejenis penipu, sehingga aku mengalami kenyataan dan pikiran yang penuh beban. Tapi, beban itu juga dialami manusia yang lain, sehingga kita tidak pernah benar-benar menganggapnya beban, kita hanya mengatakannya sebagai tantangan hidup sehari-hari.

Aku pernah cukup kelaparan dan tersiksa; namun, itu justru melepaskanku dari jebakan beban yang disebut kelaparan. aku terbiasa untuk memahami hidup sehari-hari sebagai sebuah siksaan, sehingga sama sekali tidak ada yang terberat dalam siksaan itu. Itu hanya sebuah jarum yang berdetak 24 jam sehari selama hidupku, aku tidak peduli kecuali jam itu berhenti.

Bagaimana kamu menilai anak-anak?

Anak-anak tak perlu banyak dinilai. Mereka bernilai sejauh mereka hidup. Sebaiknya kita menggambarkannya, bukan menilainya, sebab kapasaitas kita untuk menilai sangat terbatas. Penilaian itu juga hanya akan menghancurkan gambaran yang lebih baik, yang lebih bisa diterima akal budi manusia. Para psikolog sudah paham mengenai anak-anak, kita tinggal membaca buku tentang itu dan semua penilaian sudah selesai! Tidak perlulah kita menjebak diri sendiri dalam sebuah kaca mata yanga sangat sempit yang kita sebut penilaian manakala penilaian itu malah menjebak kita menjadi semacam manusia kerdil; sebab anak-anak tidak mesti dinilai agar menjadi anak-anak yang bernilai.

Dan anak-anak code sama seperti anak-anak yang lain, anak-anak yang suka membuat kesalahan ketika menulis nama orang lain. Mereka baru memahami menulis namanya sendiri dan menggambar dua gunung kembar; yang mungkin milik ibunya yang mereka sesap tiap kali haus. Anak-anak meniru. Mereka berpolah seolah-olah ingin dewasa, mereka bicara dengan kata-kata kotor seolah-olah merekalah preman terbesar di kampung itu. mereka sangat ajaib. Mereka akan menerkammu kalau kau berbohong. Mereka melihat kesalahan kalau kau tidak konsisten.

Apa yang kamu benci dari code?

Belum ada. Kalau kau tanyakan ini ketika aku masih di code, pasti kujawab sebaliknya; banyak sekali sampai aku lupa memikirkannya.

Apa yang kamu sukai dari code?

Hampir semuanya.

Begini, aku tidak bisa mengatakan aku benci atau suka pada sesuatu yang kusebut bagian dari kehidupanku. Ada saatnya aku bilang aku tidak suka namun di lain waktu aku sangat merindukan dan merasakan betapa yang tidak kusukai dan telah menjadi bagian dari kehidupanku itu merupakan sisi terbaik saat itu.

Apa yang terburuk yang kamu alami di sana?

Terburuk? Kamu tidak melihat code adalah segalanya, kan? Code itu sekelumit. Kau tahu, sekelumit itu kecil, dan hidupku masih jauh lebih besar daripada yang sekelumit itu, sekalipun yang besar tidak bisa ada tanpa yang sekelumit.

Tak ada yang terburuk. Yang terburuk adalah seandainya aku tidak menegenal code. Mungkin satu waktu aku melihat diriku yang berjalan saban hari ke kampus, ke kos teman, ke perempatan gramedia, ke jogoyudan, adalah sesuatu yang buruk. Tak ada seorang manusia yang mau berjalan begitu jauh hanya untuk memperoleh kekosongan. Aku juga. Aku tidak memandang keseharianku yang berjalan kaki 2-4 kilo tiap kali ke kampus adalah sebuah kekosongan, karena itu akan menjadi sesuatu yang menyakitkan.

Tidak, bahkan ketika malam-malam yang dingin mengantarkan bocah-bocah dari terban ke jogoyudan di bawah guuran hujan deras; kurasa itu sebuah kesenangan yang perlu dialami oleh orang-orang yang tidak begitu memiliki makna. Orang yang tidak begitu memiliki makna dalam hidupnya, sepertiku, menjadikan hal-hal kecil itu sebagai suatu yang menyenangkan.

Apa perubahan yang berarti bagimu setelah masa yang panjang itu?

Kau tidak akan tahu pasti perubahan apa itu jika kamu jadi aku. Kukira, dan ini hanya semacam perasaanku, aku telah melangkah di jalan yang benar ketika masuk dan keluar dari sana, sehingga hapir tidak bisa kusadari perubahan apa yang telah terjadi, karena aku merasa semuanya baik-baik saja, meski di dalam sana aku mengalami begitu banyak hal yang tidak bisa ditulis dengan kata-kata semata.

Banyak hal yang kukatakan merupakan bagian dari pengurangan dan penambahan atas pengalaman. Kita tidak akan mempercayai seorang itu seratus persen, sebab tiap orang adalah penipu bagi dirinya sendiri; karena itu kadang kita juga tidak bisa mempercayai diri kita sendiri. Yakinlah, hati nurani bukanlah sesuatu yang bisa jujur begitu saja, terutama terkait dengan diri sendiri.

Aku tidak bisa mengklaim bahwa perubahan-perubahan ini adalah bagian dari sekian tahunku di code. Siapa tahu bahwa itu adalah hal yang akan sama seandainya aku tidak di code. Aku hanya bisa mengatakan bahwa beberapa kemungkinan adalah pengaruh dari sekian tahun hidupku di code. Jadi, itu bukanlah sebuah kepastian, melainkan hanya sebuah tebak-tebakkan. Sayangnya, kalian tidak bakal menjamah yang sebenarnya, sebab hanya lewat kata-katakulah kalian mengerti sebagian mengenai aku. Ada sedikit orang yang mengetahui perubahan-perubahan macam itu dari penilaian mereka kepadaku, sebab mereka mungkin mengenal aku selama selang waktu tertentu sehingga merasa mengetahui adanya perubahan yang terjadi padaku.

Apa yang menurutmu masih akan kamu lakukan setelah kamu meninggalkannya?

Ini pertanyaan yang lebih tepat, karena sebetulnya aku menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya dengan cukup ngawur, sebab aku tidak lagi memiliki semacam beban sebagai orang code, sekalipun aku masih akan mendaku sebagai wong code. Sekarang aku bekerja di di jakarta, maka terciptalah jarak antara aku dan mereka, sekalipun diantara kami masih sering terjadi semacam intensi hubungan, baik melalui kenangan dan pikiran yang kutuliskan, ataupun juga lewat sambungan nyata telepon seluler. Diantara kami seperti tumbuh hal baru, kesadaran baru, sehingga rasanya aku perlu memandang ini sebagai sebuah fase yang sangat menyenangkan; aku telah memiliki sebuah kampung halaman baru setelah sekian lama meninggalkan kalimantan. Code masihlah sebuah tempat pulang, sekalipun bukan sebuah tujuan ketika aku lelah, bukan tepat merebah saat aku butuh, bukan lagi tempat tertawa manakala aku merasa butuh bersedih. Code sekarang adalah semacam kawan bagiku. Aku menjadi begitu menyukai bertutur mengenai mereka dengan cara yang sedikit berbeda; sebab aku kehilangan beban akan kesedihannya.

Dulu, kalau aku sempat menulis, pastilah kutulis sebanyak mungkin keluhan dan cacian. Caci maki adalah sejenis obat yang gratis bagi orang-orang frustasi macam aku dulu. Biasanya, untuk beberapa kasus aku lebih suka melarikan diri dari tangungjawab. Aku akan pergi ike kos seorang teman dan mencari makan di sana. Aku akan berubah jadi seorang manusia yang ceria dan cerewet, mananyakan macam-macam padanya, menghina buku-buku yang dibacanya dan menertawakan segala sesuatu. Begitulah caraku dulu mengobati kejengahan dengan code.

Sebagian besar keluhanku kuberikan pada teman ini (meskipun aku sungguh2 ingin mengeluh pada pacar, sayang aku tidak punya pacar). Mengeluh padanya seperti bermain-main, sebab tidak ada yang tidak jatuh pada satir dan lelucon tragis. Bahkan datang padanya saja adalah sebuah satir: aku main ke kosnya untuk bisa merasakan tidur di atas kasur, makan di warung dan minum kopi gratis.

(:hanya guyon a.k.a bercanda di siang bolong)