Di sebuah ledok kali code, tersebutlah satu orang orang bernama joni seorang seniman eksentrik yang suka mendengarkan lagu-lagu metal dan makan singkong bakar. Rambutnya semi gondrong, hidungnya adalah penanda bahwa ia ras mongoloid tulen.

Joni suka membecak. Sedangkan pekerjaannya yang sesungguhnya adalah menata kendaraan supaya baik barisannya. Hobinya membaca koran kuning yang memuat cerita-cerita pembunuhan dan misteri roh-roh ghaib. Ia pemikir tulen yang bisa memecahkan soal –soal fisika siswa sd hingga sma. Karena kecerdasannya itu, dia sering dikerubung anak-anak yang sedang kesusahan menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru-guru mereka. Karena itu, joni amat dikenal oleh anak-anak.

Pertama kali mengenalnya aku sempat bingung karena dia bicara dengan nada yang sangat pelan, sedangkan tidak sopan rasanya kalau kita terus-terusan minta pengulangan atas kata-kata orang yang sedang bicara dengan kita. Karena itu, pertemuan pertama itu tidak bisa membuatku memahami apa yang dikaltakan, sekalipun sepanjang pembicaraan aku selalu mengatan ‘ya’ berkali-kali sehingga kalau kamu sudi menghitungnya maka jumlahnya bisa kamu tukar dengan sebungkus mie kalau dikalikan dengan sepuluh.
Kehidupan di ledok code penuh dengan ketidakjelasan. Misalnya kamu menanyakan pada mereka apa pekerjaannya, maka mereka akan bercerita ngelantur, dari sabang sampai merauke. Mereka bisa saja jadi seorang pemancing di hari senin, lalu menjadi tukang becak hari selasa, dan di hari rabu mereka menjadi tukang tambal ban. Sedangkan hari kamis mereka akan bertugas menjaga kendaraan yang diparkir, lalu hari jumat mungkin saja mereka menjadi seorang penambang pasir. Hari sabtu mereka menikmati beberapa botol ao sebelum hari minggu mereka bermalas-malasana di rumah atau bekerja di bengkel malam harinya. Beberapa orang mungkin menjual ganja di dekat kamar mandi umum, sedangkan yang lainnya mengisi sebuah pengajian ibu-ibu dengan ceramah mengenai khamer. Kita memang sulit menduga kalau tidak benar-benar menjadi bagian dari sejarah ledok code sendiri.

Pun demikina dengan Joni yang gondrong. Pada beberapa bulan mungkin dia bisa bekerja di sebuah radio retjo buntung, jogja, sebagai wartawan dan di lain waktu dia sedang memasang genteng di sebuah rumah di terban. Joni juga sempat ikut kuliah di fisipol ugm, sebagai penyusup, dan akrab dengan kawanan pecinta alam yang menamakan diri setrajana. Setrajana punya tempat kumpul yang disebut kandang babi, meski isinya lebih mirip manusia. Di sanalah dulu joni juga pernah tidur. Dan asal tahu, dalam jarak beberapa meter ada sebuah ruangan yang digunakan oleh sekumpulan anak sok cerdas yang menakan dirinya sebagai sintsaist, penggemar jurnalisme yang menulis agitasi dan kerap menjadi provokator di fisiol. Di ruang itu aku juga sering tidur. Namun, aku dan joni tidak pernah saling mengerti bahwa pada satu masa kami akan sama-sama tinggal di tempat yang disebut ledok code. Joni sendiri sudah lebih lama di code, jauh sebelum kadang babi itu tercipta.

Joni menggemari pertunjukan dan dia bisa menjadi pokok dari pertunjukan itu sendiri. Beberapa orang pasti sudah mengenalnya sebagai pemain teater, tapi aku tidak tahu itu. yang aku tahu, dia seorang pendongeng yang norak dan lucu di hadapan anak-anak. Dia memiliki dua boneka bekepala manusia dengan pakaian warna-warnai. Bonea itu sepasang. Sering digunakannya untuk menghibur ataupun mengumpulkan anak-anak dalam satu acara yang dibutuhkan oelh orang kampung.

Menurut beberapa sumber terpercaya yang aku temui lama sesudah joni pindah ke pedalaman merbabu di wilayah magelang, joni juga seorang aktivis yang tekun membuat kegiatan besar di kampung. Dia bergabung pula dengan kelompok yang dimotori oleh romo sri, pengganti romo mangun di yayasan yang didikannya.

Usia joni sendiri sudah cukup banyak, hampir 30-an dan tetap lajang. Karena lajang adalah sebuah noda ketika kamu hampir menemui 30 tahunmu, maka joni ini berniat kawin. Di kampung itu ada seorang tukang sekaligus pembecak profesional yang berbakat dalam bertani dari magelang bernama si gun atau sebutlah slamet 1 (sebab ada banyak slamet di kampung itu. mulai dari slamet kenthir, slamet uwuh [sarang burung], hingga mas slamet sekretaris rt). Si gun menawarkan joni untuk berkenalan dengan gadis desa nun jauh di magelang sana. Dan, berangklah si joni ke sana berkenalan. Lalu menginap. Lalu sepakat menikah. Dan lalu joni menjadi seorang yang linglung. Bayangkan seorang cerdas yang kehilangan rumus matematika untuk menyelesaikan persamaan 8x kuadrat minus 15x minus 3 sama dengan titik titik, tepat saat otaknya sendiri mulai lumer oleh ulah kehidupan yang tidak berpihak padanya. Yah, sebetulnya jawaban dari rumus itu hanya satu kata yang mudah dan terdengar menyenangkan: uang.

Ketika itu romo sri menawarkan jalan keluar paling mudah. Si joni akan diberi uang yang cukup untuk menikah, jumlahnya di atas satu juta kalau tak salah dengar dari ridwan, dengan syarat joni dan calon istrinya menghadap romo sri. Maka, joni diberi pinjaman sebuah motor dan uang jalan untuk menjemput calon sitrinya ke pedalaman magelang sana. Setelah ditunggu seharian, akhirnya joni kembali namun tanpa membaca calon istrinya. Maka, gagalnya uang itu diberikan. Aku sendiri tidak memahami logika dalam kisah ini. Mengapa uang tidak diberikan saja tanpa menunggu si calon istri? Menurut sumber terpercaya, orang yang memegang uang tersebut, menghadap romo dengan calon istri akan menunjukkan keseriusan joni dalam memperjuangkan pernikahannya.

Maka, pada akhirnya joni harus berjuang sendiri mencari uang untuk menikah. Dia menggunakan sepeda onthel, sepeda unta karatan yang di kemudian hari aku beli seharga limapuluh ribu, untuk mencari ban bekas lalu dijual lagi ke kios Mr. Wolo, ketua takmir masjid kalimosodo yang memiliki kios ban. Dia bermodal 40 ribu, lalu mendapat sejumlah ban yang akan dijualnya seharga 60-70 ribu. Sepuluh ribu untuk makan, sepuluh ribu untuk rokok. Modal kembali, tapi dia tidak mendapat tambahan. Seringnya malah nombok. Namun dia tak paah semangat, apapun akan dijalaninya termasuk menjadi penambang pasir di sungai.

Setelah sekian lama, joni tidak bisa juga mengumpulkan uang, sedangkan pihak perempuan sudah terus mendesak agar pernikahan paling sederhana dilangsungkan, sebab joni sudah kerap menginap di rumah pihak perempuan. Akhirnya, mendengar kisah pilu tapi lucu dari joni, sejumlah warga kampung urun rembug dan sepakat menyumbangkan materi seadanya untuk joni. Pada satu acara yang disebut kawin deso atau terdengar seperti itu, joni sudah mendapat seekor ayam jantan untuk dibawa ke magelang bersama rombongan. Ayam itu tampak kekar dan sehat, sanggup membangunkan orang satu kampung dalam satu teriakan kluruk. Ayam itu ditaruh di kandang dekat kamar kami agar esok pagi mudah mengambil dan membawanya. Namun, ketika esoknya akan berangkat ke magelang, ternyata si jago sudah tak bernyawa lagi. Entah sakit apa, atau mungkin ada intel yang memberinya racun arsenik, aku tidak bisa menyimpulkannya sebab peristiwa itu justru membuat kami tertawa. Betapa tidak, selama beberapa hari ini joni kehilangan beberapa barang miliknya, lalu di hari yang menentukan dia kehilangan si ayam jago pemberian seorang tetangga (sebetulnya banyak tetangga memiliki hutang pada joni, namun joni tidak pernah bisa menagih hutang-hutang itu).

Namun, acara tersebut tetap berlangsung. Entah bagaimana ceritanya mereka mendapat ganti ayam yang lain, ayam yang lebih kecil dan berkelamin betina. Jadilah joni dan rekan-rekan ke magelang. Mereka mengendarai motor. Setelah acara itu selesai, joni dituntut untuk segera mengurus surat-surat ke kua untuk mengurus pernikahannya dan menyediakan uang sejumlah tertentu untuk pengadaan upacara pernikahan. Sekian bulan lamanya joni berusaha, tapi seperti yang sudah-sudah, takdir joni adalah tidak mendapatkan uang.

Pada batas akhir, keluarga perempuan akhirnya meminjami joni biaya pernikahan dengan seekor sapi. Kelak, joni akan bekerja mengembalikan biaya pernikahannya kepada keluarga perempuan. Pernikahan itu dilakukan sekitar desember tahun 2008. Pascapernikahan, joni tinggal di magelang dan menjadi seorang petani dengan tugas utama menghamili istrinya. Sehabis itu, aku jarang mendengar perihal joni. Beberapa kali dia ke code dan mencoba mencari kerja di jogja, yang artinya membuktikan di desa sedang tidak ada kerjaan di sawah/ladang. Lalu, dia datang dengan berharap bisa menjadi tukang parkir di mcD, namun karena sedang sepi kegiatan, joni tidak mendapatkan apa-apa. Dalam kegundahannya itu, dia menawarkan sepedanya padaku. Aku hanya bisa memberinya limapuluh ribu, itupun berat sekali mengingat aku juga harus mengurus biaya admisnistrasi skripsi. Akhirnya joni pulang, dan lama tak terdengar kabarnya. Sampai kemudian aku pindah beberapa lama dari code. Saat liburan aku kembali ke sana dan mendengar kabar joni telah pergi ke bekasi dengan membawa lari anaknya, yang kemungkinan baru berumur kurang dari setahun.

Keluarga joni memang tinggal di tangerang. Dia pernah bilang saudara perempuannya bekerja di suatu pabrik.

Nah, suatu hari, dalam sebuah jalan-jalan sore, sekilas aku melihat sebuah wajah yang hidung dan gonrongnya sangat mirip joni tengah berada dalam sebuah mobil pik up pembawa barang-barang dari toko besi. Aku tidak bisa memastikan itu, meski peristiwanya ada di bekasi.