Apa guna puisi? Sebenarnya tak ada. Kalau ada, spt guna lukisan yg kita pasang di dinding, lagu Sting & Bach yg kita dengar di radio.

Tapi di jaman dulu, puisi diberi isi petuah, atau hikayat. Bahkan, dlm bentuk mantra (yg juga puisi), tugas mengusir buaya.

Nah, karena kelaziman jaman dulu, puisi sekarang juga disangka atau dituntut punya keampuhan dlm bentuk petuah, pesan, penyembuhan.

Padahal ketika kita mendengarkan musik (Bach, Bonita, Budjana, dll) kita bisa asyik tanpa minta agar musik itu membuat kita "baik".

Maka di zaman Stalin, Penyair Anna Akhmatova dan Pasternak dibungkam. Penyair Mandelstahm dibuang ke Siberia.

Mengapa? Hanya karena mereka mau menulis sajak yg memberi alternatif bagi bahasa dan cara pandang yg berkuasa waktu itu.

Tampak, bhw meskipun tak jelas gunanya, tidak benar juga bhw puisi hanya untuk kenikmatan dan mengucapkan cinta.

Mari kita baca sajak Chairil Anwar atau Sapardi Djoko Damono. Apa yg pertama kali terkesan? Bukan isinya. Tapi pesona dari kata2-nya.

Kata2 itu mempesona bukan karena "cantik", "indah", "keren". Tapi karena rangkaiannya segar, terlepas dari bahasa yg itu-itu saja.

Bahasa yg terlepas dari klise menunjukkan cara memandang dunia yg tak beku, kaku, tertutup. Hidup jadi tampak kaya surprises.

Bahkan puisi juga membebskan makna bahasa yg terpaksa dibatasi, krn kebutuhan praktis, seperti bahasa dlm hukum dan ilmu.

Penyair Sutardji Calzoum Bachri (dia juga di Twiiter) malah ingin dan mampu membebaskan kata (makna kata) dari keterbatasan kamus.

Dgn puisi, dgn menikmati puisi, kita sebenarnya ikut merayakan pembebasan itu. Dan bukan sembarang pembebasan bahasa yg terjadi.

Dgn bahasa yg tak terjerat klise dan konvensi, kita bisa sampaikan cinta kita secara pas dgn perasaan kita, saat hati tergerak

Maka ada ketulusan. Ada kejujuran. Bukankah kita biasanya orang tak mau jujur dgn memakai kata2 klise, spt para politisi itu?

Pembebasan bahasa dlm puisi juga mengandung pembebasan tafsir atas bahasa itu. Tafsir atas sebuah sajak tak bisa diseragamkan.

Maka anda bisa tafsirkan sajak Sapardi sesuai dgn sikap anda suatu saat. Belum tentu cocok dgn tafsir orang lain. Dan itu tak apa-apa.

Sebab puisi bukanlah rumus kimia, atau instruksi baris berbaris, atau manual memakai Blackberry.

Bahasa puisi pada awalnya bukanlah bahasa untuk komunikasi, tapi untuk ekspresi (yg dicoba di- atau ter-komunikasikan).

Isi yg bisa ditangkap pengertian, isi kognitif, bukan yg satu-satunya yg ada dlm puisi, bahkan bukan yg terpenting.

Sebab itu tidak tepat untuk membaca puisi sambil sibuk bertanya: ini maksudnya apa, sih? Dlm puisi, ada gerak yg tak bisa dirumuskan.

Bahkan banyak puisi yg mengandung unsur cetusan bawah sadar. Terutama dlm sajak-sajak yg bersifat surrealistis.

Misalnya sebaris sajak Sitor Situmorang: "Malam Lebaran/Bulan di atas kuburan". Jika dianalisa secara akal, puisi ini "salah".

Menurut tafsir saya, dlm sajak ini, bayangan kegembiraan Lebaran bertaut mendadak dgn bayangan berkabung. Tak ada yg salah, kan?

Atau satu bait sajak Hanna Fransisca dlm kumpulan yg baru2 ini terbit, "Konde Penyair Han", yg diterbitkan KataKita...

"Ranting bambu telah terbakar, Han/ribuan akar ditanak/bersama butiran isakmu". Beberapa "gambar" beda bertaut, kontras, memukau.

Buku puisi "Konde Penyair Han" baru2 ini masuk daftar yg diunggulkan utk Penghargaan Khatulistiwa.

Selain karya Hanna Fransisca, orang Pontianak itu, tentu perlu dibaca puisi para pemenang: Gunawan Maryanto dan Mardiluhung. Bagus2.

Ada dua buku puisi baru =yg ingin saya pujikan utk dibaca: Pertama, "Perempuan Yang Dihapus Namanya" oleh Avianti Armand.

Yang kedua, tentu saja, "Buli-Buli LIma Kaki" karya Nirwan Dewanto, terbitan Gramedia Pustaka Utama. Karya2 Nirwan terbagus...

Oh, ya. "Perempuan Yang Dihapus Namanya" oleh Avianti Armand diterbitkan oleh a publication.

"Perempuan Yang Dihapus Namanya" menuliskan kembali sosok2 perempuan dalam Perjanjian Lama. Hawa, Tamar, Batsyeba, Jezebel....

Dlm buku itu juga ada tokoh perempuan yg misterius, yg diciptakan (menurut sebagian tafsir) bersama lelaki pertama. Bukan dari rusuk.

Saya kutip dari "Buli-Buli": "Perempuan yg bertubuh seluas malam itu/Rajin memecahkan cermin/Supaya bulan/Menjadi ibu bagi wajahnya".

Sekali lagi, yg muncul dari bait ini kombinasi2 yg tak disangka-sangka, yg membuka hati kita utk kemungkinan2 yg berbeda.

Dlm sajak "Hawa" Avianti, adegan surga waktu manusia dicipta disusun spt dlm sebuah pentas. "Sebutir matahari untuk menandai Timur".

Dari puisi spt itu, kita bersua dgn imajinasi manusia yg bisa menghadirkan yg tak terduga. Spt dlm kanvas Salvador Dali (lih.Wilkipedia)

Saya kira, itulah hal2 yg dihadirkan puisi: persentuhan dgn bahasa, tafsir, imajinasi dan kebenaran yg tak terpatok di satu kotak.

Sekian. Semoga ada gunanya saya bicara soal puisi. Tak cuma soal monarki, myabi, fpi, wasabi. Terima kasih utk atensi anda.