Hidup di tengah berbagai kekhawatiran pastilah tidak menyenangkan. Kadang aku memandang bahwa hidup itu tak perlu khawatir apapun, toh pada saatnya kita akan mati dan dunia ini hanyalah sepanjang umur yang kita jalani. Aku kerap menganggap tuhan sangat berkuasa, sehingga apaun yang dilimpahkan, baik atau buruk, mestinya diterima saja sebagai kompensasi atas kehidupan yang sudah diberikan pada manusia. Aku juga sering mengatakan pada diriku sendiri, jikalau semua usaha baikku dibalas dengan neraka, aku tidak akan mengeluh atau protes, sebab tuhan mahakuasa. Karena itu, aku tidak akan pernah menyalahkan tuhan atas tragedi manusia. Aku kira, kita sebagai manusialah yang mesti menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan ini di dunia, bukan menyerahkan pada tuhan dan menunggu sebuah pengadilan di akhirat. Pengadilan macam itu tak perlu ditunggu, sebab kalau tuhan berkuasa tentunya akan pasti datangnya. Sesuatu yang pasti datang tidak usahlah ditunggu, sebab ia pasti tepat waktu.

Aku tidak melihat cara pendangku itu sebagai penyerahan apa adanya, pada tuhan. Justru sebaliknya, aku berusaha mempereteli peran tuhan dalam kehidupan, peran yang sudah terlalu lama dimitoskan. Contoh sederhana adalah soal doa. Keberagamaan kita seolah menuntut manusia bahwa tuhan akan melakukan sesuatu setelah kita berdoa. Bagiku, tuhan sudah menyelesaikan segala sesuatunya jauh sebelum manusia ada. Semua doa sudah dipenuhkan, sudah digenapi. Tinggal manusia saja mau tidak menjalankan doanya. Kita berdoa diberi rejeki banyak. Dan sesungguhnya tuhan memberikan kehidupan itu sudah dilengkapi dengan rejeki yang jauh lebih banyak daripada yang pernah kita pikirkan, tinggal bagaimana kita mengambilnya. Apakah kita mau cara instan dengan merampok bank, ataukah dengan tekun menanami sawah dengan padi dan memilhara sapi-sapi yang bunting. Tuhan menciptakan tangan, jauh sebelum kita sendiri diciptakan, lewat gen manusia. Tangan itu tentulah banyak berguna, selain untuk membesihkan kotoran di dalam hidung dan cebok.

Maka, kekahawatiran sesungguhnya diciptakan oleh manusia sendiri. Mereka memproduksinya sebagai bagian dari pengakuannya atas ketidakberdayaan diri. Tidak berdaya atas faktor-faktor eksternal, dan juga faktor internal. Rasa khawatir sendiri adalah bagian internal dari pikiran manusia. Mereka menghasilkan kekhawatiran dengan cara menyalahkan yang di luar dirinya. Mereka khawatir kalau tertinggal kereta, khawatir matahari bergerak lebih cepat, khawatir kue di rumah disantap pembantu, khawatir tidak mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, dll. Ya, mereka seolah-olah khawatir akan sesuatu yang di luar kendali dirinya. Meski pada dasarnya, kekhawatiran itu hanyalah sebuah simptom pikiran.

Aku juga sering mengalami perasaan khawatir. Khawatir lapar, khawatir sakit berat, khawatir kehilangan kesempatan, khawatir tidak ini dan itu. Tapi, pada satu titik jenuh, aku dipaksa untuk mengabaikan perasaan khawatir. Sebagian manusia mengalami titik ekstrem tertentu yang mengubah cara pikirnya. Titik itu tidak mesti sebuah puncak nestapa, misalnya kita berhenti khawatir justru setelah mengalami fase panjang kekhawatiran itu sendiri. Bisa jadi ia hanya sebuah gejolak yang beriak di kedalaman pikiran yang tidak tereteksi; tiba-tiba saja seorang manusia membuat perputaran arah kehidupan yang ekstrem hanya karena melihat seorang anak kecil menangis di pinggir jalan. Seorang raja bisa saja secara serampangan meninggalkan mahkotanya hanya karena menginginkan kedamaian; padahal yang ia cari tidak lebih daripada kesunyian di tengah hutan, tak bermakna bagi banyak orang.

Pada masa dua puluh sekian tahun hidupku, kukira ada juga titik balik-titik balik yang demikian itu. Titik tersebut bukan ketika aku mempertanyakan eksistensi tuhan atau ketika aku belajar mempercayai teori evolusi darwin, melainkan saat kehidupan yang biasa-biasa saja terguncang oleh riak kecil. Pada tahap aku merasa puas dengan seluruh capaian yang tanpa nilai; kuliah beberapa tahun yang hampir terpangkas tanpa sebuah penghargaan ijasah di saat orangtua terus mempertanyakan kapan yang disebut lulus itu tiba sambil mengatakan kalau mereka sudah tidak punya biaya untuk yang disebut kuliah. Saat itu aku juga tengah mengeja perjuangan kecil mempertahankan sekolah seorang pengamen lucu yang selalu mengeluh pada segala sesuatu mengenai keluarga, juga bayangan mengenai perhentianku yang kukira akan kekal di bantaran code. Di sanalah tiba-tiba aku menemukan betapa ketakutan-ketakutanku hanyalah simtom pikiran tak berdasar.

Saat seseorang mencapai batas putus asa, saat itu barangkali ia bisa menemukan titik balik yang paling menggembirakan.