Sekali ini, puasa seperti tak memberiku keramaian. Atau mungkin terlalu mudah, maka aku tak merasakannya. Entahlah... yang jelas, thalia mengingatkanku tentang pulang. Gadis paling cerewet, centil, dan selalu meminta benda-benda yang kumiliki. Meski kadang aku jengkel karena kelakuannya mengacaukan kamarku tiap kali dia datang, tapi dia satu-satunya yang dua kali mengantarku ke stasiun dan memberi lambaian. aku merindukannya seperti merindukan aliran sungai yang gemericik.



Sebetulnya juga, aku tak berniat ke jogja lebaran ini. Toh, aku pun tak pulang ke rumah orangtuaku. aku juga tak punya kekasih di sana sebagai "rumah" yang mesti kutuju. meski sekian orang memintaku pulang ke jogja, sekian orang yang menahanku pergi darinya. Tapi, seorang teman telah membelikan tiket. Teman sekamar dahulu. Temanku ini sudah lama di jakarta, sekira 3 tahun kurang sekian bulan dan sekian hari. dia sudah bosan di jakarta. kasihan. jakarta tiba-tiba jadi momok menakutkan, jadi sosok yang dibenci ketika mereka berkubang di dalamnya. kasihan. bahkan, kawanku itu tampaknya sedang merencanakan untuk kembali tinggal di jogja. syukur-syukur kalau dia mau tinggal di code lagi.

Nah, kalau aku... disuruh pulang pas lebaran saja ogah-ogahan. Entah, aku memang tidak menyukai "pulang". aku jarang di rumah pada hari pertama lebaran. aku memilih jogja, memilih menemani anak-anak ke lapangan, memilih membuat hura-hura pada malam takbiran. kalau di suruh pulang beberapa hari sebelum lebaran, aku selalu punya alasan. tak ada alasan pun aku tak perlu cepat-cepat pulang.

dalam sejarah hidupku yang masih singkat, kekecewaan pertama akan harapan pada "pulang" terjadi sewaktu aku kelas enam sd. sewaktu aku diungsikan ke jawa, aku menyirami benih pulang ke kalimantan. namun, tanpa sebuah surat pemberitahuan sebelumnya, kedua orangtuaku tiba-tiba sudah di depan pintu kamar tidurku. saat itulah, aku pertama kali merasakan kecewa bertemu orangtua. tiba-tiba aku belajar untuk melupakan teman-temanku, melupakan petualangan masuk hutan, melupakan ikan-ikan yang kupancing pada musim hujan, melupakan ladang-ladang yang diterbagi kupu-kupu liar. aku belajar untuk kecewa.

sesungguhnya, mimpi yang sama juga dimiliki kakaku yang jauh lebih awal dibuang ke jawa. dia juga menginginkan pulang, pulang ke tanah yang justru asing bagi kedua orangtua kami.

pulang, tak lebih dan tak kurang, sebagai penipuan tentang yang pergi dan yang tak mesti kembali. pulang itu ekuivalen dengan konsep ruang dalam arsitektur. tak ada luar, tak ada dalam. hanya konsep yang mempertahankan dirinya sebagai penipu, kau di luar ruang, aku di dalam. yang disebut dalam hanyalah soal kondisional, karena sekat yang lebih sempit, karena pandangan yang lebih terbatas.