Aku hampir terbang ketika kalian mengingatkan tentang kakiku yang jadi akar dan menumbuh
Kulihat ada yang menghilang dari kerumunan kanak-kanak, pergi menunduk seperti mencari sepi
padahal kalian yang selalu mengingatkan untuk mengenang, yang meminta untuk kembali
Aku hampir terjengkang ketika kau pergi, kepala menunduk seperti manghayati sendiri
Kujilat udara ini, untuk memastikan ada kabar dari intuisi

Waktu kalian datang sebagai kabar kehilangan, aku sedang memungut air mata
yang lupa jatuh untuk siapa.
Aku ingin mencantumkan diri pada daftar orang hilang bersama kalian yang melarikan diri,
dan seharusnya memang aku menjadi ida; 


Mereka tak akan menghampiri kamar kotak tempatku membusuk dulu, juga tidak akan tahu di mana aku. Tapi kurasa aku bisa merasakan kehadiran kenangan dari saban peristiwa yang kalian alami. Malam itu aku sedang sakit, antara sakit mental dan meriang. Pintu kamar kotak 3x3 m sudah coba kukunci. Tapi, suara-suara kurcaci mengetuk. Untung kalian bukan iblis, sehingga aku biarkan masuk dan menganggu. "Kenapa kalian datang kemari" tanyaku. Aku tidak pernah jadi tuan rumah yang baik, tidak ada makanan dan minum untuk para pengacau yang menyamar jadi tamu.

Ternyata hanya kabar ida dan angga pergi, "apa kalian menuntutku untuk mencari?" ternyata iya. Sakitku jadi tambah tak karuan, antara sakit mental dan meriang akut. Maka, kuperintahkan anak-anak yang merampok beberapa benda dari kamarku pulang, "aku pasti mencarinya". Sebenarnya aku hanya ingin tidur dan terkurung di kamar.

Jam satu dini hari aku mulai bisa tidur, tapi seseorang membangunkanku. Katanya, seorang anak ditangkap di dekat McD. Lalu kenapa aku? Memang aku bapaknya? Kapan aku kawin dengan ibunya?
Waktu ak naik, dari dalam selokan seperti suara tikus menyebut namaku. "mas tovek.... mas, aku wedhiii..." ida, lebih menyerupai benda hitam kotor, menyembulkan kepalanya. Sementara di kejauhan ada kerumunan orang seperti habis menangkap pencuri. Ternyata angga. Duduk seperti pesakitan kecil, dikerumuni dan dihajar pertanyaan orang-orang dewasa yang aneh. Setelah aku suruh Ida turun dan sembunyi di kamarku, aku mecoba mendapatkan Angga, hmmm... ak sendiri agak takut karena di sana ada polisi (bagiku, polisi selalu menakutkan, bukan saja ukuran sepatunya tapi juga cara bicaranya).
sebenarnya tumbuhku hampir limbung sendiri menahan sakit kepala akut. Aku cukup sadar untuk memahami kenapa akhirnya angga ditangkap orang-orang ini. tangannya memainkan sebuah celengan berbentuk mobil-mobilan, dan satunya memegang kartu. seseorang menuduhnya mencuri. sayang, entah karena kebodohan atau siasat saja, yang dibawa kabur sebuah kunci mobil dengan gantungan dompet kecil berisi stnk. Huh... kukira ak harus mengurusinya ke kantor pulisi, tapi untung pulisinya enggan mengurusi angga yang ingusan, kotor, dan entah berapa hari tak mandi (seingatku, sudah hampir seminggu mereka minggat dari rumah). Untuk membawa angga memang perlu perdebatan, meyakinan siapa aku, memastikan dia akan kukembalikan ke rumah dan bla..bla...bla... janji belaka.

sebenarnya, waktu melihat ekspresi angga, duduk cuek dan menjawab sekenanya, aku merasa bangga. setidaknya, anak ini tidak cengeng seperti dulu. kubawa ia ke tempatku. kakinya hitam kotor. mereka memang tak memakai sandal, meski harus nahan panas siang di atas aspal sudirman. bajunya sudah tak berupa. sama seperti ida. bahkan, ida jauh lebih bacam, rambutnya gimbal tak karuan, aku berani jamin ada komunitas kutu di sana. tapi, aku bahkan tidak ingin peduli, aku ingin segera tidur. sebelum tidur, aku interograsi sebentar, kenapa mencuri? kenapa melarikan diri? kenapa ini? kenapa begitu? sampai kami lelah dan tertidur di kamar 3x3, tiga manusia busuk. aku ingin melupakan janji untuk mengembalikan mereka ke rumah, karena kedua bangsat ini pasti akan dihajar habis-habisan.

sebelum tidur, aku menemani mereka ke 'belik', untuk mencuci kaki, meski sebenarnya ak tidak terlalu peduli dengan kebersihan mereka. nah, saat itulah ida dan angga bilang kalau di seberang sungai mereka melihat bayangan putih sekilas, di bawah dua pohon randu besar. kupikir, itu mbah bari, lelaki tua bangka yang punya kelainan spesial, selalu buang air besar tiap beberapa menit. cerita tentang orang ini mungkin cukup "necrofilis" jadi aku sarankan tidak dibaca lebih lanjut bagi kalian yang menyintai bunga-bunga indah tumbuh di bantaran sungai. mbah bari itu laki-laki coklat-kehitaman, pemulung tua yang selalu marah-marah di hadapan anak-anak, dan bertingkah seperti orang gila. bagiku dia tidak terlalu gila, hanya terlalu sering diganggu anak-anak. kerjanya adalah pergi ke sungai untuk cebok, dan sebenarnya buang air besar juga, tapi itu dilakukan setiap beberapa menit atau kadang jam sekali. jadi, meski malam atau dini hari, dia akan ke sungai dan memamerkan pantat jeleknya pada semua orang yang punya mata dan ada di sana. rumah laki-laki itu di seberang sungai, di gondolayu kidul, bersama seorang perempuan beruban yang memelihara anjing paling galak yang ada di sana.

.... kupotong beberapa tragedi di sini ....

beberapa hari sebelum lebaran, sekian lama setelah peristiwa itu, Ida meninggalkan nerakanya. aku punya tugas menemukannya dan mengembalikannya ke neraka itu. bulan puasa yang asing dan dingin, kata W ia menyusuri jalanan jogja seperti filsuf tua di usianya yang kurang dari sembilan. mendengkur di samping masjid, diantara pohon-pohon dan mainan yang melupakannya. Setelah aku pura-pura shalat tarawih, kucium udara seperti anjing untuk menentukan arah angin, siapa tahu bau keringat bacamnya bisa kuraba. sepeda kuangkat, melawati pundek berundak kampung code seolah mendaki sebuah candi tua tanpa spiritualitas apapun, kususuri jalanan dengan sedikit kegembiraan tersisa. hah... daripada mencari ida, lebih baik menikmati malam. karena itu, aku tidak pernah menemukan ida. bahkan setelah lebaran dianggap akan usai dan aku berencana minggat ke jakarta, ida seperti hilang disembunyikan setan.

lalu, berembuslah kabar, sebuah nama asing (untukku), mbok tomblok telah membawanya ke spot pemulungan yang lain di kricak. dalam hati aku girang, bukankah artinya ida menemukan keluarganya yang sebenarnya, bertemu kekek dan pakde-nya?

INI SAMBUNGANNYA (KARENA DITULIS SETELAH JEDA PANJANG, JADI BANYAK YANG KURANG PAS. KUEPRINGATKAN... INI DITULIS LEBIH KARENA KEINGINAN EKSTERNAL)

Pencarianku atas Ida kali ini sekaligus pencarian masa laluku. Ini yang kerap tak kusadari, bahwa "kebetulan" adalah sesuatu yang melebihi mukjizat atau keajaiban.

Aku sudah mendengar cukup banyak tentang keberadaan Ida yang kali ini kembali ke tempat kakekknya. Aku pernah mendengar nama Kricak sebelumnya, mungkin waktu aku masih di Kalimantan. Tapi, nama itu terlupakan bersama waktu yang menggerus ingatan. Nama Kricak berembus kencang ketika Code adalah tempatku. Jogoyudan ataupun Gondolayu, sepertinya saudara kandung Kricak. Para pemulung, para pengemis, para pengamen, penjahat kelas teri, pencopet, pencoleng, juga para pencuri di jogja pasti mengenali tiga nama tempat itu. Mungkin juga para pelacur dan calon-calonnya berasal dari sana. Tapi, kali ini aku bertutur dalam porsi personal, tak ada sengketa sejarah dan sosiologi.

Beberapa kali Ma'e terus membujukku untuk mengantarnya ke kricak. Berkali-kali aku harus memberi alasan; selama bulan puasa aku harus mengurusi lebih banyak anak-anak, selama puasa aku hanya bisa keluar setelah tarawih usai... aku juga mesti mengurusi bla bla bla... pokoknya, di depannya aku harus terlihat sibuk, meski sebenarnya aku ini pengangguran absolut. Pokoknya, kuberi alasan, sampai lebaran datang aku belum bisa mengurusi bocah ingusan itu. Setelah mudik beberapa hari, kuputuskan cepat-cepat ke Jogja. Selain karena aku tak betah di rumah, aku khawatir ketinggalan sesuatu di code. Yak, dan nyatanya Ida memang belum kembali setelah sepuluh hari.

Malam itu, aku berjanji akan menemani mereka. Tentu setelah berbagai persyaratan kuajukan. Dengan mengada-ada aku bilang mungkin ini menyangkut masalah hukum, sehingga kami perlu bukti-bukti legal "kepemilikan" atas Ida. Dan, aku kalah, Ma'e punya segalanya. Akte, surat-surat sekolahnya, dll... Bertiga, aku, Ma'e dan Dwi, berangkatlah ke kricak naik becak. Aku membecak bersama Dwi, yang sebenarnya juga sudah tidak menginginkan Ida kembali. sebenarnya aku masih bersyukur melakukan itu semua di penghujung waktuku di jogja. Menyusuri gelapnya gang jogoyudan, menelikung di pojok tempat sampah, dan mencium aroma kere manusia...

Sebelumnya aku pernah ke Kricak. Tetangga di Code Utara juga orang kricak. Dan, setalah kuingat-ingat... umur setahun dulu, aku juga pernah tinggal di Kricak selama beberap bulan sebelum dibuang ke Kalimantan. Yah, mungkin aku perlu menelusuri keberadaanku sendiri. Ayahku yang menceritakan bahwa kami sekeluarga pernah di kricak. Dan, anehnya, aku dan Ma'e pernah menempati suatu tempat yang sama: Panti Sosial di Kricak. Baru benar-benar kusadari, bangunan yang disebut panti sosial itu juga pernah mengurungku. Aku semiskin melarat jelata ini rupanya. Bangunan itu berpagar besi tinggi. Menjadi miskin mungkin sesuatu yang baru kusadari kala itu. Bertahun-tahun tak terlintas sekalipun bahwa asalku hanyalah sebuah Panti Sosial. Lupakan itu, aku tak kuasa meneruskannya.

Di gang-gang yang lebih tertata dan lebar dibanding di Jogoyudan, banyak anjing kurus menatap kami. Aku sendiri tak yakin bisa pulang tanpa kehilangan tulang. Di rumah mbok tomblok kami temuai seekor anjing tetiduran di atas kasur, sedangkan tuannya duduk di lantai, makan sirih dan menonton sinetron (yang amat sangat jelek). Dia terkejut melihat Ma'e. Wajahnya agak takut dan anjingnya menyalak. Aku dan dwi langsung menyalami lalu duduk, tapi Mae berdiri di pintu. setalah bicara sebentar, tentunya mengenai Ida... tiba-tiba seorang laki-laki, dengan kaki korengan, tampang coklat mengerikan, bertolak pinggang di depan pintu dan bicara seperti memaki-maki kami, terutama pada Ma'e. Rupanya itu pakdenya Ide. Pemulung keturunan ketiga. artinya, ayah dan kakeknya juga pemulung. Tak usahlah kuceritakan ketegangan itu. Perdebatan itu agak keras dan berkali-kali aku dan dwi harus meredakan kemarahan mereka berdua. Pokoknya... bla bla bla ....

Seharusnya, aku punya misi membela hak Ma'e untuk mengambil Ida. Tapi, karena hatiku bilang bahwa inilah satu-satunya jalan membantu Ida lolos dari neraka dunia, maka aku lebih memilih untuk menyerahkan ida pada keluarga yang sebenarnya. Perdebatan itu ujungnya adalah hampa. Kami pulang. buru-buru mbok tomblok menutup pintu rumahnya. Sedangkan kami jalan kaki diikuti laki-laki korengan itu. Sebenarnya aku agak takut jika ada benturan fisik mengingat sulit sekali mencari teman di daerah asing macam ini. laki-laki itu punya track record pencurian dan kejahatan-kejahatan kecil lain, jadi mungkin saja dia bisa melakukan hal yang lebih besar. Kalau ancaman saja aku masih berani, tapi kalau sudah tindakan... mungkin bisa ciut juga ini nyali...

Pulang tak dapat apa2, hanya kenangan. Tapi ma'e masih bersikeras. Sedangkan aku hanya bisa titip pesan pada laki-laki korengan itu untuk mengurusi sekolah ida, untuk memindahkannya dari sd bhineka, meski aku sama sekali tidak yakin. Beberapa bulan paska peristiwa itu, kudengar ida dibawa ke kalimantan oleh ibunya (yang sejarahnya sendiri tidak kalah jeleknya). Ayah ida, kata dwi, jangan tanya... mungkin orang gila di jalan raya, atau pelanggan di parangkusumo.

..........................