Hemm ... Siangku. Bau kakiku. Dan segerombolan koran. Aku mencoba merasakan tiap saat yang kulewati dengan mengingat, tapi lebih sering gagal. Aku hanya pelamun yang mengelana ke tempat-tempat nyata, usang dan dan karatan. 


Aku coba menghitung, dari angka nol, tentang hal-hal tak bermakna ini ... 


heh... sampai akhirnya sore tiba, cahaya matahari membuat lebih indah gedung-gedung yang memantulkan cahaya. Tapi, aku tak menghirup aromanya. Hanya duduk mendekur seperti burung-burung tua yang lelah. Punggungku retak. 


Aku mencoba cukup bahagia. Misalnya, dengan menghadiri pertemuan 1001 buku. Memeluk laki-laki tua yang ubanan, sepuluh tahun lalu ia mulai berkeliling meminjamkan bacaan. Laki-laki dengan botak berlebih di kepalanya, datang dari lereng merapi hanya untuk tampil sebagai si manusia desa cerdas. Kataku, jidat itu pasti kurang lebar untuk pikiran-pikirannya. Lalu, anak-anak yang tidak lagi seperti anak-anak. Juga perempuans beragam. Dan, kupikir aku tidak merasa kecewa dengan manusia. Masih ada cukup banyak tenaga untuk tetap menjadi manusia. Masih ada cukup kawan untuk berjalan di jalan pinggiran, bergandeng seperti parade mei yang tak ingin berhenti. 


Lantas, mengapa aku masih seperti burung tua di sebuah sarang, memeluk sayap kumal dan gemeletuk menahan keceriaan. Tidakkah kita berkhianat pada waktu?