Tadi hujan mengingatkan aku untuk mengetahui apakah ia kedinginan di suatu tempat. Aku merasa itu bukan lagi sebuah kenangan. Ini adalah kenyataan yang dibatasi oleh indera, yang dikerubuti benda-benda kasar seperti benda-benda di sekitarku. Hujan itu menghantam satu sisi yang layak kusembunyikan. Pernahkah kau tiba-tiba ingin menangis, sedangkan seharian itu hidupmu biasa-biasa saja? Aku hanya merasa tak pantas menumpahkannya di kantor. Kantor tempat yang suci, karena kita mendatanginya lebih sering daripada semua tempat ibadah, karena itu segala keluhan dari rumah dan sarang penyakit (hati) harus ditunda hingga aku lupa atau sanggup membuangnya. 


Aku hanya merasa, apa yang kutulis ini hanya sarang untuk menyembunyikan segala kelemahanku. Kelemahan yang kemudian kunikmati seperti kanibal. Ada banyak dusta (bukan kebohongan) sebab aku menuliskannya dengan perasaan sekadarnya. Aku tidak layak mengklaim kejujuran, tidak pula berhak pada otentisitas, bahkan jika itu hanya bayangannya sekalipun. Kurasa, sebagian dari diriku memang telah hilang. Hanya ketika kemarahanku memuncak, ia tiba-tiba nongol tanpa permisi. Dan, kehilangan bagian dari hidup kita adalah beban yang paling baik dilupakan. Sebab, kehilangan itu tidak pernah mengenai kenangan atau ingatan yang hilang, melainkan mengenai dirimu sendiri yang datang dari masa lalu maupun masa depan. Ini bukan mengenai aku yang pernah, melainkan aku yang kehilangan. 


Hujan itu memang sebuah tangisan deras yang datang dari Ida, dari Oki, dari Angga, dari W, dari sekalian mereka yang hidup di lingkungan busuk. 


Sebenarnya, aku tidak sungguh-sungguh bisa menyadarinya. Sebab, itu bukanlah sebuah kenangan, hanya kenyataan yang dibatasi indera. 




The Girl Who Kicked the Hornet's Nest