Suatu pagi, yang sepantasnya disebut siang, mendatangi atau kudatangi, ia sedang membuat kopi untukku. Tidak ada aroma yang seperti kopi, tidak ada uap mengepul, juga tidak ada rasa getir yang dapat kunikmati dari kopi ini, hanya sebuah kebiasaan, seperti kalau kita jumatan. Adukkannya juga payah, diaduk dengan bungkus plastik yang dipuntir-puntir, persis kebiasaanku kalau bikin kopi instan. "Ngaduknya jangan keras-keras, nanti gulanya kecampus semua...." Lha, emang maksudnya biar gulanya ikut larut kok. "Tapi aku suka pahit, gulanya biar di bawah, jangan sampe larut." Piye, to... pikirku.
He he he... ternyata yang bikin kopi aku sendiri.

Aku lebih suka kopi hitam, yang dibuat dengan air panas yang baru diangkat dari atas tungku (jaman sekarang mah pakai kompor), yang pekat, gulanya harus masuk belakangan.... agar kopinya terbakar dengan sempurna, agar ampasnya tidak naik, agar busanya kelihatan mengental ke atas, agar pertama-tama ak bisa merasakan pahitnya... agar tenggorokanku sedikit terbakar, lalu lambungku protes dan aku bisa ketawa karena mencium aromanya yang paling segar, dan mengepulkan uap yang paling hangat.


Selain kopi hitam, aku ingin menyecap malam tanpa neon, hanya ada gelap dan bintang, seperti dalam masa kanak-kanak.

:pengin punya Harry Potter and the Half-Blood Prince (Full-Screen Edition)