Sudah sebulan saya di kota yang jadi surga nyamuk ini. Betah? Sekilas, bisalah saya bertahan. Tapi, berjuta neuron di dalam sana mengingatkan, lewat mimpi-mimpi yang terus datang, saya mestinya ke tempat di masa lalu, dimana kaki bisa leluasa menginjak tanah, air bisa digenggam, angin bisa dibaca. Ingat itu pantas saya syukuri, sebagaimana saya bersyukur atas napas dan hembusan udara malam. Tapi, kadang ingat itu dihiasi duri, kangen rasanya, pada tawa dan kegirangan yang hanya ingatan itu.
Saya tadi ingat pertanyaan seorang dosen, dulu waktu masih kuliah, kapan terakhir menginjak tanah? Kira2 begitu. Tanah betulan. Yeah... pertanyaan retoris yang tidak untuk dijawab, hanya untuk memancing pertanyaan-pertanyaan lain. Dan, di jakarta, saya sulit menemukan tanah untuk diinjak, artinya saya tidak menemukan bumi manusia yang sesungguhnya, tanah yang coklat kemerahan, kenyal dan liat, lengket... Sedangkan di Jogja sana, saya selalu bisa menginjak tanah dengan leluasa. Ya, walaupun sebenarnya tidak pernah jauh berbeda... tanahnya sudah ditutup batako, aspal, semen... dan bahkan membuat air juga kesulitan menemukan tanah.