Kangen, pengin kembali ke jogja. Apalagi, sore ini Yuri nelpon, menanyakan di mana aku sekarang; mengabari dia sakit; kemarin mau ikut mengantar ke stasiun tapi sedang demam; dan dia memintaku main ke rumahnya. Yah... gimana nggak pengin pulang ke Jogja... anak-anak itu sudah jadi adik-adiku yang paling dekat, melebihi kedekatanku dengan adik kandungku sendiri. Bertahun-tahun aku lebih sering bertemu mereka daripada dengan adikku sendiri, jadi ya wajar.

Tapi, aku akan bertahan di sini, entah untuk berapa lama. Aku sedang menikmati hari-hari tanpa suara ribut bocah-bocah, juga tawa dan keceriaan mereka. Agak menyiksa, tapi aku sedang coba membebaskan diriku dari segala tuntutan untuk hanya jadi penolong bagi orang lain, aku mau menolong diriku sendiri keluar dari kemiskinanku. Klise banget sih, tapi, aku masih merasa cukup sehat ketika memilih ke Jakarta, walau mentalku berkecamuk seperti suara bising lalat-lalat yang merubung bangkai. Waktu aku putuskan ke sini, tempo hari, yang kupikirkan memang hanya soal bertahan hidup dan menghidupi beberapa nyawa lain, jikapun itu bisa.

Aku dulu sudah memilih untuk tetap tinggal di jogja, yah, meski pun itu hanya di kolong masjid. Dulu kupikir baik apabila aku memilih tetap berjalan bersama anak-anak .... Tapi, aku selalu merasa jadi pesakitan ... jadi pencuri ketika lapar, jadi pemaki-maki kalau sedang nulis sambil lapar, jadi kejam pada beberapa orang kalau sedang sumpek karena lapar, jadi neurosis temporer lah. Nah, alasan perut memang paling masuk akal untuk merubah orang, bahkan pandangannya, sikap dan keyakinannya... makanya ada orang yang menjual keimanan agar tidak terus-terus lapar. Dan, mereka sama sekali tidak salah.

Tapi, aku juga punya alasan lain, alasan yang lebih praktis dan personal; Ida sudah ada di tangan yang berbeda dan aku lebih bisa mempercayai mereka; Levi sepertinya bisa berteguh dengan kegiatan itu; dan, teman-teman di code utara harus dibebaskan dari kecenderungan bergantung pada figur di luar mereka. Hanya, masalah Wendi memang masih beban terutama temperamentalnnya yang semakin labil... hanya, dia sudah gede, mungkin juga akan jadi lebih dewasa. Aku merasa sedikit aneh dengan alasan-alasan ini ... kurasa kau hanya mencoba mencari sensasi dan perhatian; setelah sekian waktu seperti laki-laki kecil yang berjalan sendiri, menyembunyikan ketakutannya karena dipaksa oleh takdir. Dan, kini ia sok besar ... padahal otaknya saja semakin mengkerut, kering, dan jauh lebih lapar. Hanya perutnya saja yang sekarang sedikit bebas dari maag.

Aku akan kembali ke Jogja... entah kapan.

PK