Jiwa, katakan padaku tentang sepi!
Kudulang dalam cawanmu, sekeping silam, meronta, mau jadi pahlawan.

aku tak ingin menulis puisi, aku tak akan menulis puisi, hanya akan kutulis diriku. Di kamar yang dikunjungi tikus ini, aku ditemani sisa-sisa rokok G Wu, ms agus, pak Khum... ah, penat aku. Mengapa di sini? Mengapa di Jakarta? Mengapa harus kuputuskan untuk melancong ke negeri hampa, kalau yang kucari sunyi? AKu tidak mengerti jalannya rotasi cinta, tapi mungkin sedang ada gerhana, sehingga jalanku jadi meraba-raba, dan rasanya aku tak perlu punya ingatan yang panjang.
Kamar ini tak retak, tapi jiwaku. Kipas angin tak berhenti, tapi hasratku. Entahlah.. entahlah.. entahlah.. entahlah... entahlah... entahlah.. entahlah...
Aku menatap kaca dan tersenyum girang, ada laki-laki telanjang sedang tersenyum girang di dalam kaca sana... Aku tertawa, menemukan gigi-gigi, menjumpai mata laki-laki merah. "Keluarlah, setan. Temani aku bercakap-cakap, rumah ini sepi, aku ditinggal sendiri. Para buruh sudah pulang dan tidur tenang, entah memeluk apa, tapi di rumah mereka sendiri. Para bos sudah bebas dari beban mengawasi, tapi aku merasa terlalu dibatasi... oleh ruang-ruang ini." Sayang sekali, di sini hanya gudang buku, buku-buku yang semuanya sama, yang aku tak sekilaspun ingin membaca. Hanya disisakan sedikit makanan, kopi, dan sunyi. Nyi, Sunyi, keluarlah dari persembunyianmu, tunjukkan di mana pintu yang menghubungkan ruang ini dengan kamar para setan bersedih.
Rupanya masih ada "ESSE Menthol: The leader's pleasure super slim cigarettes"... kuhitung sebentar, siapa tahu bisa untuk berbagi dengan para setan, kalaupun mereka doyan merokok... Sepuluh! Ah, sayang, tuhan tidak merokok, kalau ia mau, akan kutawarkan semuanya, karena aku dan para setan tidak mau merusak kesehatan.

Yeah... katakan padaku