Dan bila aku terbangun, tak ada apa pun di dalam kamarku
Selain kebodohan dan igauan kebingunganku
“Yang Tak Tercapai”, Ilya Abu Madi (1890—1957)

Oleh sebab beberapa hal aku tetap menulis, selain terbengong, meracau, bermimpi buruk, dan gatal-gatal di kulitku. Oleh hal-hal itu blog ini terisi dan terus mendaki, sampai orang-orang yang memuji dan pura-pura memuntahkan segala pernyataan jadi tumpukan rasa sakit di lambungku. Lalu, aku mendekap malamku dengan keyakinan-keyakinan yang menipu, besok, besok, besok, besok .... besok kita merayakan hari ini, besok kita telah berjanji untuk merenungkannya. Besok kau akan datang dengan kekasaranmu yang amat kucemburui. Aku benci bersamamu karena seolah orang-orang mengancamku yang hanya bisa memandang ke tempat yang jauh, melewati matamu, melewati keindahan dan hanya merasa benci saja. Kau membuatku tersingkir, jatuh, dan terus-terusan dilempar seperti bungkus kacang di tengah jalan; karena aku mencintai keindahan yang mungkin tidak mencintai yang mencintainya.

Tetap saja, toh, semua kata itu tidak membuatku lebih baik. Apalagi, “mencintai” adalah harga yang hanya kutaksir saja, aku tidak mau menawarnya jadi “suka”, apalagi “hubungan istimewa”, meski aku hanya punya uang “nasib”. Apalah harga sebuah nasib? Kita pontang-panting mengatakan “berjuang demi nasib”, dan hanya mendapati sebongkah batu yang kita kira emas. Tapi, batu pun punya harga diri. Aku juga! Harganya sesuai inflasi, atau hukum permintaan dan penawaran, kadang juga aku memberi ketetapan “tak berharga”, “barang rongsok”, “second, tak layak pakai”, “sampah”. Hm, menistakan diri sendiri adalah salah satu hobiku, seperti tertawa di atas penderitaan sendiri. Toh, aku baik-baik saja kok, sehat wal afiat, tidak neurosis akut.

Padahal, kalau aku ke gramedia, sekadar baca buku, yang aku lihat dengan seksama adalah buku-buku motivasi, buku yang mengatakan dapat merubah perspektif orang, buku-buku yang membuat orang cepat kaya dengan modal dengkul (ini khusus untuk yang otaknya di dengkul, termasuk punyaku), buku psikologi yang menggugah inspirasi, dan satu dua kali buku origami dan arsitektur. Semuanya indah... aku merasa diubah, aku merasa lebih cerdas, aku merasa lebih baik dari siapapun.... ya, tepat, saat aku tidak berpikir!

Kalau aku berpikir, kalau aku menulis, aku merasa sakit kepala dan mulau meracau seperti neurosis. Mengapa orang bilang imajiku meloncat-loncat? Si adi geblek itu, juga nadia baik... dua orang ini membaca dua hal yang berbeda. Adi itu hanya baca puisiku saja karena dia pikir dia penyair, dan nadia bacanya bagian yang buruk dari jurnal-jurnalku. Kotorannya sama... imaji yang seperti kutu loncat. Kenapa ya? Padahal aku sudah mulai menghentikan menulis puisi... aku juga enggan menulis cerita, aku homo skriptum. Jadi, seharusnya tulisanku lebih sistematik, terstruktur... tentu saja tidak pakai poin-poin... memangnya dosen.

Ah, aku semakin gatal... semakin tidak nyaman. Diagnosaku sih karena penyakit ini maka tulisanku jadi seperti itu. Ketidaknyamanan membuatku harus bolak-balik untuk bisa memahami apa yang sebenarnya aku tulis, dan tetap tidak paham. Yang aku paham, sakitnya semakin mengada-ada saja... makin nikmat! (garuk sana, garuk sini, garuk itunya, garuk atasnya dikit)
Bolak-balik antara imaji dan kenyataan yang sakit.

Haduh, kembalilah kepada mimpiku di atas. Kembalilah kepada keindahannya. Aku tidak mau mengusik sakitku.
.....d.....

....
Dalam kegirangan diam, dalam kesedihan banyak yang mesti diucapkan
Namun tanpa siksa derita dan belenggu berat dunia
....
Sampai bila segala sangsai dunia menekannya
Menegangkan seluruh dirinya, puaslah dia
Maka segala belenggu dan penghalang diratapinya
Dan orang pun senang mendengar suaranya yang penuh derita

“Seni dan Penderitaan”, ‘Ali Muhammad Luqman, penyair Aden.