29 Feb. 08

Akhir bulan februari tahun kabisat. Hujan membisik di jogjakarta pagi. Bau-bau alkohol menguar dari laki-laki yang terkapar di sini. Aku mengingat, betapa banyak teman yang kini kudapatkan, betapa aku hidup dalam kesenangan yang tidak terlalu aku pikirkan. Aku bangun dan mengingat bahwa aku menunggu seseorang memanggil namaku dari luar jendela dan memberikan sarapan. Aku ingat wajah-wajah cantik, dan seperti laki-laki normal, akupun menginginkan mereka, ya mungkin satu saja! Aku sudah lupa hidup untuk apa!

Aku mendengarkan lagu-lagu seperti mendengar setan, aku menangkap kentut seperti mencium bau jin, aku menarik selimut seperti takut kehilangan nafsu-nafsu. Udara di kamarku seperti hanya berputar di sini saja, tidak berganti dengan yang segar di luar. Satu jendela, dan bagiku sudah begitu banyak cahaya yang menganggu mataku. Aku terus mendengarkan setan bernyanyi, seperti mengumandangkan kesedihan ketika anak-anak yang menjual koran sore pulang jam dua belas malam. Aku tidak mendengar diriku menangis. aku kehilangan beberapa dan termasuk tangisan untuk kesedihan-kesedihan yang dibebankan terlalu berat kepada anak-anak itu. Kupikir, aku semakin membutuhkan kenaifan untuk bertahan hidup!

Aku sendiri terlalu menikmati peran-peran ini. Aku lupa terhadap siapa aku mesti bertanggungjawab, ketika dunia sendiri tidak peduli. Jalanku semakin tidak seimbang. Limbung ke kanan, belok ke kiri, dan memberi alasan untuk semua hal yang belum kukerjakan.

Langit terasa mendung, terasa mendung, kupikir hanya hatiku yang mendung seperti itu. Mendung yang sungkan, mendung yang tidak mau berterus terang. Hatiku sedikit saja mendapat kehidupan dari napas terik nasib buruk para setan.

Yah, setan sudah pulang ke rumah, tapi yang mereka bawa hanya kenelangsaan, masih seperti dulu.

Terima kasih orang-orang, terima kasih udara, terima kasih hujan, terima kasih komputer, terima kasih untuk yang membikin semua itu. Kini aku mau duduk dan menghisap rindu.