08 Apr. 08
Pagi membusuk lagi, kibaran angin menusuki ilalang sunyi di tepi kali yang airnya kuning coklat. Mataku masih mencari tempat gelap untuk menegur mimpi-mimpi. Ah, tak begitu menarik, hari selasa selalu jatuh sebagai hari terburuk dari segala hari, tapi itu hanya karena kita menamainya, menghitungnya, dan mencacinya. Dan pagi busuk, aku dengarkan lagu seperti khotbah. Perputaran waktu terlalu cepat untukku.
Sudah sekian tahun aku tidak lulus juga, sudah sekian waktu aku tidak lepas juga dan orang-orang akan merasa jengkel padaku, siapakah orang yang mereka anggap bisa menjalani kehidupannya sendiri itu? Hanya sebuah gundukan sampah yang ingin hanyut, ingin hanyut ke sungai dan melerai menjadi potongan-potongan tidak berarti. Tapi potongan yang demikian telah menghancurkan segalanya.
Bantal, kasur kusut nan tipis, selimut dari sprei biru, guling kumal, dan tubuh malas jadi satu dalam mimpi yang terlalu nyata akhir-akhir ini. Gelas kotor, sirup, minyak kayu putih, sepatu, plastik, tempat air kosong, alquran terpojok, dan semua tetek bengek duniawi mengaduk-aduk pikiranku; benda-benda ini tersebar kacau seperti cara berpikirku. Dan begitu dinding dijalari cicak, aku mencium permusuhan dan suara tikus mencicit dari kekalahannya. Lalu, kucium bau para coro yang terkapar di kamar depan, mereka yang memiliki dunia dan aku memaki keseluruhannya. Betapapun mereka hanya tukang parkir, mereka hidup seperti raja-raja, tidurnya seenak mereka sendiri dan tidak ada yang menyuruh mereka shalat atau mandi.
Seseorang menelpon dari jauhnya klimantan dan mengingatkan tentang dunia dan harapan kosong dunia kapitalis; sekolah. Dan aku tertawa melihat kita semua kalah oleh sekolah, seperti percikan darah yang sangat konyol karena keluar dai otak manusia yang dianggap paling cerdas. Dan kabar adalah kehidupan yang menjulur seperti tangan-tangan orangtua. Ketika aku sanggup berdiri dan kembali melangkah, tahu-tahu kehidupan sudah menjadi begini penuh dusta. Aku tidak pernah berkhayal tentang revolusi atau perjuangan untuk mendapatkan makan, tapi waktu telah membawa revolusi ke kedalaman yang pekat milik hati yang hampir tenggelam ditelan perasaan galau sendiri. Yaitu, kehidupanku telah tertukar dengan kehidupan malaikat yang paling tidak patuh dan miskin; atau sebenarnya tertukar dengan kehidupan setan paling bijak yang ingin mengelabui dirinya sendiri?
Tentukan apakah kehidupan ini patut diperjuangkan demi makan hari ini? Jangan-jangan aku salah menilai bahwa sekolah itu buruk, mungkin sekolah itu terlalu baik dan mengasihi manusia semenjak ia kecil hingga menjelang ajalnya. Mungkin sekolah itu lebih mulia daripada kehidupan itu sendiri dan amungkin aku salah jika menilai bahwa sekolah hanya sisa remah yang dijual para pengajar tak bermoral. Jangan-jangan, kehidupanku tidak patut kujalani.
Dan pagi berisi sapaan, kabar, berada di mana kau hari ini, mengenai apa, mencari apa, seperti apakah masa depanmu, mengapa kamu berpikir, dan hal-hal sejenak lainnya. Aku tidak bisa merangkumkannya untuk orang lain, mereka terlalu sombong dan tidak mengerti, mereka terlalu serakah dan tunduk pada majikan satu itu; tuan sekolah!
Aku beranjak dari butir-butir kalimat yang janggal, pikiran yang kelabu dan hati yang membusuk. Aku memiliki kebusukan yang tercium dari sebuah telinga. Dan bahwa orang lain akan mencurigaiku sebagai penjiplak setan atau menusia tidak otentik, merupakan keharusan yang perlu mereka jaga. Mereka juga perlu menjaga kebusukan hatiku dengan memandangku sebagai serpihan sampah yang hanyut dan mendekam di dasar sungai bersama batu-batu yang bertapa berabad-abad. Batu-batu yang mengajariku tentang sungai dan artinya menjadi batu di dasarnya. Manusia berasal dari batu dan kembali menjadi kebatuan.
Jiwaku tidak bersih dan penuh kebohongan; membatu di sekian bidangnya karena persoalan-persoalan kecil. Duri telah tumbuh di sana dan aku membenci sekian banyak manusia karena mereka tidak peduli padaku. Aku benci sekian manusia yang begitu bahagia dengan hidup. Jiwaku meradang penyakit kebusukan sejak aku melihat manusia lain sebagai diri mereka, aku cemburu dan tidak tahu mengapa aku harus menjadi aku dengan jiwa yang semakin ternoda. Dusta-dusta berkeliaran di hatiku, seperti pikiran yang berkelok-kelok dan aku meyebutnya alasan yang tepat untuk membela diri atas segala dusta dan kekotoran jiwaku. Dan di sini, di kamar yang mengerang karena tikus-tikus berkeliaran dengan kebebasannya, aku menyukai kegelapan yang menyimpan tamak dan keasingan bersama-sama di dinding yang tertutup kertas minyak warna kuning, ungu dan biru.
Aku menangis mendengar kata setan, devil, disebut. Setan menari di bayang-bayang kalbuku, dan aku percaya padanya tentang apakah kehidupan ini dibuat; tentang penderitaan yang berujung di hatiku yang membatu. Aku menunggu setan datang di malam-malam, dan memelukku. Aku meratapi pertemuan yang panjang, setan-setan telah datang seperti tamu dan aku tidak sanggup menjamu selain dengan permintaan maaf bahwa jiwaku terlalu keruh untuk menyambut mereka yang datang dengan kegelapan. Pori-poriku berair seperti air mata dan jiwaku membeku di kamar yang biru tua.
Para tukang parkir itu telah bangun, masanya selalu berubah dan masaku selalu mundur sekian abad untuk mencari jejak; setan siapakah yang kini menjadi hatiku? Ha ha ha, kalian akan tertawa; atau menangis. Sepertinya aku mulai tidak memahami manusia dan jiwaku selalu berkata bahwa hari ini kita hidup untuk hal-hal yang sudah selesai tapi orang menyangkal dirinya. Dan aku tidak mengerti, siapakah yang menemukan setan ini.