Malam beranjak dingin. Neon-neon berpesta cahaya. Dan langit yang cerah kehilangan bintang-bintang. Di tengah kota yang tidak sunyi, seorang anak hendak tidur setelah belajar mati-matian untuk persiapan ujian nasional. Ia memanggil kakaknya yang sudah kuliah dan pintar bercerita.
“Kak, hibur aku dengan dongeng yang menarik, yang belum pernah diceritakan siapapun agar aku lupa dengan semua rumus dan hapalan serius itu,” pintanya pada sang kakak.
“Dongeng yang belum pernah diceritakan? Mengenai apa itu? Surga dan neraka kah?”
“Itu sudah banyak!”
“Tentang pangeran Trenggiling?”
“Tahun lalu kakak mengarangnya untukku.”
“Hemmm, coba kalau tentang si kembar kecil mungil di negri kecil mungil yang kehilangan kelamin. Apa kamu pernah mendengarnya?”
Senyum puas tergambar di wajah anak itu, “Belum! Judulnya saja panjang, pasti ceritanya juga panjang, tapi kecil mungil. Ayo, aku mau dengarkan.”
“Baiklah!
Pada suatu hari, di negeri kecil mungil, lahirlah sepasang saudara kembar kecil mungil dengan hidung kecil mungil, kaki-kaki mungil, mulut yang mungil, dan mata yang mungil. Kedua orangtua kembar kecil mungil adalah petani biasa di negri kecil mungil. Mereka sangat gembira menyambut kelahiran si kembar kecil mungil.
Hari itu cuaca sangat cerah dan si kembar kecil mungil disambut kicauan burung dan sorak sorai para tetangga yang mengunjungi keluarga kecil itu. Ini adalah kelahiran anak mereka yang pertama, sehingga segala sesuatu disambut dengan suka cita dan pesta yang meriah. Mereka minum jus buah dari hasil ladang, membuat kue-kue enak yang dihias dengan buah stroberi merah, dan puding apel yang harum menyambut siapa saja yang datang. Juga angsa panggang yang ditaburi merica dan dihias pandan merah jambu khas negri kecil mungil.
Tiba-tiba muncullah seorang dukun tua yang sangat ditakuti orang-orang negri kecil mungil. Ia bertubuh bungkuk dengan wajah penuh kerut, matanya awas menatap segala sesuatu dan mulutnya bergumam-gumam tak karuan. Tongkatnya terbuat dari akar pohon keramat, bengkok di sana sini. Ia berjalan perlahan, menyeret pakaiannya yang kebesaran.
“Beri aku puding apel itu!” bisiknya pada orang-orang. Tapi orang-orang malah menyingkir dan menjauhinya karena pakaiannya menimbulkan aroma yang tidak menyenangkan. Ia tertawa mengerikan, “Ha ha ha ha!”
Ia menggeram sebentar lalu berkata, “Kalian memberi sambutan yang buruk pada utusan setan ini, maka aku mengutuk anak yang lahir hari ini.” Dukun itu berpikir sejenak, memikirkan kutukan apa yang paling cocok, yang belum pernah dilakukannya sebelumnya. Mengutuk orang jadi katak sudah pernah, mengutuk orang jadi angsa pernah, mengutuk orang tidur selamanya juga pernah.
“Kukutuk ia...tidak punya kelamin. Ha ha ha ha...” dikiranya itu kutukan paling lucu di dunia. “Ingat, katakan padanya saat menjelang dewasa, jika mereka menginginkan kelamin mereka kembali, mereka harus datang ke negri serba bulat dan membawakan untukku sepasang bola kristal ajaib milik dukun agung. Ha ha ha ha...” Dukun itupun melangkah pergi dengan kecepatan luar bisa sambil meludahkan puding apel.
Orang-orang tertegun. Mereka bertanya-tanya kepada orang-orang di samping mereka, “Kutukan macam apa itu?”
“Di mana negri serba bulat?”
“Dukun gila, kita selalu dikutuk kalau mengadakan pesta.” Kata petani kecil mungil berambut gimbal. “Kalian ingat, anak pertamaku hampir mati di makan harimau untuk melepaskan kutukan tak bisa melihat warna? Kalau aku bisa, akan kubunuh dukun itu.”
Yang lain hanya garuk-garuk kepala.
Sementara orang tua si kembar kecil mungil sangat bingung dan sedih. “Apa jadinya mereka tanpa kelamin?” tanya sang suami.
“Mereka akan kehilangan kesenangan.” timpal sang istri.
“Kalau hanya itu, tidak masalah. Kita bisa memberi kesenangan setiap hari. Tapi, saat dewasa kelak, mereka akan benar-benar tersiksa.”
“Benar, satu-satunya jalan adalah menuruti kata-kata dukun sialan itu.” Sang istri menitikkan air mata.
Mata kedua orang itu mengawasi si kembar kecil mungil yang tertidur. Memang pada akhirnya tahulah mereka bahwa kelamin kedua anaknya yang ada saat itu hanya saluran kencing belaka, bukan kelamin sesungguhnya. Mereka memutuskan tidak akan menceritakan kisah tragis ini sampai si kembar kecil mungil dewasa dan bertanya tentang ketiadaan kelaminnya.
Si kembar kecil mungil tumbuh jadi anak-anak yang lucu. Mereka sangat sulit dibedakan, orangtuanya pun sering salah memanggil si kembar kecil mungil pertama dengan yang kedua. Satu-satunya perbedaan yang bisa dikenali orangtuanya adalah cara mereka bicara yang berlainan. Si kecil mungil satu sangat cerewet dan bicaranya cepat, sedangkan si kecil mungil kedua lebih pendiam dan bicara agak pelan, bahkan kalau bicara dipercepat akan diketahui bahwa ia agak gagap. Maka, kalau si kembar kecil mungil sedang diam, orang lain tidak tahu mana yang pertama dan mana yang kedua.
Bersambung .... dilanjutkan jika ada yang tertarik mengetahui kelanjutannya.