Mengingat-ingat sambil memerangi waktu yang tak habis jua ditebas sana-sini. Sambil selonjoran dan minum bir yang terbuat dari campuran whisky + cola, radio yang mendayu-dayu karena menyanyikan lagunya bryan adams, dan sebuah kipas angin yang menimbulkan bunyi ritmis akibat dudukannya yang bergetar. 

Mengingat-ingat sambil mencari waktu; sampai kini aku sudah lebih dari 3 tahun, hampir 4 tahun, tinggal di Jakarta. Ya, kadang caraku mengingat adalah dengan kembali ke dalam sebuah kereta ekonomi yang sesak, Progo waktu senja berangkat dari Lempuyangan bersama lambaian Thalia, Lia, dan Yosi...dan seseorang yang sangat kuharapkan melambai sore itu tidak pernah datang. Janjinya adalah mengantar, tapi akhirnya hingga kereta berangkat ia tak pernah muncul. Yeah, aku meninggalkan Yogyakarta dengan sedikit rasa putus asa; aku ingin kembali secepatnya seandainya dia di situ melambai untukku. Namun, akhirnya aku memang harus benar-benar pergi kan ya...tersenyum pelit pada pemandangan pertengahan Oktober. Kereta bergerak pelan; aku pergi ke barat, mencari kitab suci...eh, mencari kerjaan.
 
Sekian tahun kemudian...taraaaaa!!! Aku sudah memegang Blackberry sambil menulis ini. Hape Nokia 3310 kala itu yang kubawa sudah menerima jawaban kenapa kamu tidak melambaikan tangan sore itu; sekalipun dunia mengecewakanku, tak terbersit sedikitpun untuk loncat dari atas kereta Progo. Hahahaha...tentu saja, secara normatif alasan dia sangat baik dan tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Kukira selepas itu aku belajar lebih banyak untuk kecewa, dan hal itu tentu sangat penting artinya di dalam dunia yang sering mengecewakan orang-orang yang berharap.
 
Ritme hidup Ibukota jelas mengubahku, meski tidak dengan sungguh-sungguh; maksudnya aku tidak sungguh-sungguh berubah. Yeah, aku masih saja pemalas yang terlalu banyak bermimpi dan bangun kesiangan, tidak sadar bahwa manusia itu bekerja ditemani matahari, bukannya bersama bintang-bintang.
Bahwa kadang-kadang aku menenggak bir kalengan atau mencicipi anggur di tempat antah berantah, kupikir itu hanya sebuah sopan santun menyambut kehadiran diriku di tengah gelimang jutaan tenaga kerja yang saling berpacu memperebutkan eksistensinya sebagai seorang buruh. Aku juga pernah mencicip anggur, di bawah masjid itu, meskipun bukan sebagai sebuah sopan santun kepada segerombolan begundal yang membelinya dan tidak menghabiskan sebotol AO. Namun, begitulah kurasa dunia ini "tidak berubah"; maksudku di masa lalu kita sudah mencicil sejumlah perilaku untuk dihadirkan pada saat ini secara lebih bebas, lebih liar, dan akan lebih menimbulkan akibat. Itu yang membuat orang-orang tidak bisa disebut berubah, mereka hanya tumbuh.
 
Misalkan, aku tidak pernah melupakan harapanku sendiri sekalipun kenyataan sudah terlanjur mengecewakan; atau bahwa kenyataan itu sudah membuat penghakiman yang tidak bisa ditolak. Harapan-harapan masih saja berkeliaran meskipun dibunuh 1001 kali, meski ditumpas dengan kenyataan yang niscaya, dan bahkan jika kita benar-benar melupakannya. Bahkan ketika dia pada kemudian hari melambaikan tangannya...di stasiun yang berbeda. Ah, ya, kereta Progo yang itu tidak pernah tergantikan oleh apapun; pengab dan cucuran keringat, gerah dan desak-desakan yang bersatu dengan kekhawatiran barang kita hilang disamber pencuri.
 
Ya, tidak hilang. Tidak ada yang benar-benar berniat membunuh harapan, mereka membiarkannya, berkeliaran dan akan kembali dalam bentuk lain/atau bisa saja sama saja.
 
Sekarang aku bisa duduk di toko sevel dan menghabisan Rp11.000 untuk kopi hitam, atau kadang ditambah roti Rp9.000, kadang chiken katsu Rp14.000 + nasi putih Rp5.000. Jika semua itu dikalkulasi, hidupku naik sekitar 5 kali lipat dibanding 4-5 tahun yang lalu, bahkan lebih tinggi. Sekarang, segelas kopi sama dengan biaya hidup sehari di jogja bebeberapa tahun lalu. Nasi putih seharga rasa kenyang dan kesenangan yang dihabiskan di pinggir sungai. Atau ini, harga sepatu yang senilai dengan isi kamarku di masa itu. Luar biasa, nikmat mana yang hendak kau dustakan.
 
Namun...akhirnya orang juga mesti bertanya, hanya pada hargakah kita menghitung pertumbuhan kesejahteraan? Bukannya kebahagiaan kita masih sama saja dengan di masa itu, atau bahkan terdegradasi seiring dengan penderitaan yang dialami di dunia kerja, kemacetan jalan raya, tuntutan untuk bersenang-senang lebih banyak (karena tekanan juga meningkat), dan terang saja kita makin tidak punya waktu untuk tertawa.
 
...Pekerjaan jadi pembelian yang kadang terlalu mahal, terutama pada mereka yang tidak menikmatinya.

-Sent from my blackcoffee-