Sabtu (10/8) pagi ini saya akan ke Tanjung Bira, sendiri, naik bus. Hanya sedikit gambaran soal bagaimana pergi ke sana; pergi ke terminal Malengkeri dan mencari bus tujuan Pulau Selayar. Sayangnya, semua bus penuh di masa liburan begini. Semua kursi dari tiga bus besar yang ada di terminal ini sudah dipesan semua.

Sebenarnya ada angkutan umum lain, mobil-mobil Panther, plat kuning. Tetapi saya pengin naik bus, bukan naik mobil kecil. Maka jadilah saya beli tiket tanpa tempat duduk atau mereka sebut “lorong” alias di gang tengah. Seharusnya memang untuk hari libur begini harus pesan dahulu, tetapi saya tidak tahu di mana bisa pesan bus tujuan Selayar.

Semua orang di terminal pakai bahasa Makassar, atau entah bahasa apa, pokoknya bahasa asing di telinga saya. Ini agak membingungkan karena saya tidak paham sama sekali, padahal mereka kasi intruksi dengan bahasa tersebut. Ini lebih asing daripada di antara orang-orang berbahasa Inggris.

Pukul 7.30 sekarang, saya putuskan isi perut dahulu dengan bakso di samping bus. Bakso yang tak enak dan saya sudah menduga, hanya saja memang tidak banyak pilihan di terminal, semuanya bakso tenes…dan saya tidak suka. Tapi, bagaimanapun, perut harus diisi sedikit, biar tidak kosong dan masuk angin.

Terminal Malengkeri kotor dan banyak bagian yang tidak terawat. Sampah berserakan begitu saja, rumput-rumput menginvasi bagian-bagian yang jarang digunakan, dan jalan masuknya kehilangan aspalnya. Banyak yang datang ke terminal memakai taksi, termasuk saya. Saya tidak tahu pete-pete dengan kode apa yang masuk terminal ini, jangan-jangan memang tidak ada.

Jam 9 lewat, mesin bus sudah dinyalakan, tetapi belum juga semua penumpang masuk. Ada bangku plastik untuk yang dapat lorong, lumayan daripada berdiri.

Sekitar 9.30 bus berangkat. Jalan ke Bulukumba itu kecil dan hanya muat dua mobil, sehingga laju kendaraan memang tak maksimal, tidak bisa ngebut. Di jalan bis nya juga masih menaikkan penumpang, sebagian mereka memang sudah pesan kursi.

Terjadi sedikit cekcok ketika dua penumpang baru naik, mereka sudah pesan kursi dan ternyata ada yang menduduki. Satu kursi sudah diperoleh, satu lagi entahlah tetapi beberapa saat kemudian sudah tak terdengar suara dari belakang dan bus kembali melaju.

Sekitar pukul satu atau dua kami tiba Bantaeng, istirahat sejenak untuk makan dll, lalu melanjutkan perjalanan. Ketika kami tiba, dua bus lain yang sama-sama berangkat dari terminal Malengkeri tadi sudah di sana.

Sopir busnya memang kurang berani, tidak punya nyali untuk ngebut. Mungkin karena jalanan sempit, mungkin juga karena pengendara lain juga tak ada yang ngebut. Yang jelas, banyak sepeda motor jalan seperti sepeda onthel dan ini yang membuat sopit bus melambatkan jalan. Bus tidak berani menyalip motor jika arah sebaliknya juga ada motor. Padahal, motor-motor itu kadang lelet bukan kepalang. Naik bus jadi tak enak kalau lelet begini, mana pantat panas pula…

Sekitar jam 4 sore bus baru tiba di Tanjung Bira, langsung mengarah ke kapal penyebrangan. Buru-buru aku minta diturunkan karena tak seorang pun yang turun di tanjung bira kecuali aku.

Turun di dekat pelabuhan penyebrangan membuatku agak bingung, karena tidak jelas di mana pantainya. Harus berjalan sekitar 1 kilo untuk sampai ke pantai. Ada pintu masuknya, bayar 10.000 rupiah. Aku bisa saja masuk tanpa bayar karena tak bawa kendaraan dan lagi petugas loket sibuk dengan kendaraan.

Masuk agak jauh barulah kelihatan suasana pantainya. Tidak seperti dugaanku, pantainya riuh sekali macam parangtritis, mungkin karena musim libur dan akhir pekan pula. Aku tak terlalu suka yang terlalu ramai begini, jadi sulit menikmati pemandangan.

Yeah, tanjung bira memang berpasir putih, tetapi lumayan kotor. Ada beberapa kumpulan sampah dan sisa-sisa pembakaran kayu semacam pernah dipakai untuk api unggun. Di pantai sudah banyak berkeliaran bananaboot, rupaya sangat laku di sini.

Aku berjalan ke barat, ke bagian yang sepi. Memang di sana dengan pasir putih dan dinding karang, tak banyak di datangi. Hanya satu dua orang. Tapi memang tempat itu habis terendam karena pasang, jadi mungkin tadi tidak dijamah. Tapi di kajuhan ada keluarga yang sedang bermain-main, dan kemudian bule-bule habis diving atau apalah gitu. Sisi sebelah barat tampaknya spot yang disukai para bule.

Pantainya kecil ternyata, ini benar-benar mengecewakan. Bentuknya mungkin agak mirip-mirip pantai di wonosari. Meski pantai-pantai di wonosari lebih kecil lagi, namun pemandangannya lebih indah. Barangkali juga faktor ombak. Di sini ombaknya sangat bersahabat sehingga cocok untuk berenang, maklumlah tak berhadapan dengan samudra.

Ada pulau di sebrang pantai, tak begitu besar tetapi berpenghuni dilihat dari lampu yang menyala di malam hari. Pulaunnya sendiri cukup besarlah untuk dihuni warga tiga kampung. Juga beberapa pulau lain di kejauhan yang lebih besar.

Tak ada kapal nelayan sepertinya, semuanya dipakai untuk menarik bananaboot. Jelas lebih menghasilkan uang dari wisatawan daripada menangkap ikan.

Senja di tanjung bira lumayan bagus, hanya saja terhalang oleh bukit kapur di bagian barat.

Secara keseluruhan…pantai tanjung bira lumayan. Pengelolaan yang buruklah yang membuat lingkungan di sini tidak bagus. Retribusi sepuluh ribu per orang (warga asing lebih dari 2 kali lipat) tampaknya hanya untuk pemasukan pemda, bukan untuk pengelolaan pantai. Pendapatan dari pedagang dan penginapan yang berjibun tentunya juga besar. Potong saja 10 persen dari total pendapatan kotor mereka, maka pemda bisa mengumpulkan miliaran per bulan dari total pendapatan di sini, kecuali–tentu saja–jika bocor di mana-mana.

-Sent from my blackcoffee-