Berderet-deret cahaya, lampu-lampu di Ibukota, terlihat seperti garis-garis berpedar yang mengisi kehampaan. Dari atas pesawat pada malam hari, jalinan lampu di Jakarta seperti keindahan yang penataanya tidak memperhatikan estetika, hanya membentuk alur jalan raya yang saling berjabat-saling merekat. Mereka tidak sedang menggelar pasar malam di lapangan ribuan hektare, inilah keseharian yang boros dari Jakarta.

Anak-anak terbiasa dengan terang, mereka gentar menghadapi remang dan tidak akan mendekati tikungan tanpa pencahayaan. Bintang-bintang perlahan menghilang dari Jakarta, langit yang terlihat hanya bias berjuta neon. Dan keheningan hanyalah masa lalu yang tidak pernah diinginkan lagi.

Kota itu tumbuh dengan menyedot seluruh energi di Jawa dan Indonesia lainnya, menyisakan 20% saja untuk dibagi secara diskriminatif kepada 33 provinsi lain. Sepuluh juta jiwa berlalu-lalang seperti semut, mencari makan di sela-sela belantara gedung dan menyedot air tanahnya dengan kecepatan yang luar biasa.

Dan di belantara 10 juta jiwa itu aku pernah menjadi sebiji manusia yang turut riuh-rendah menghembuskan napas secara bersama-sama dengan kenalpot kendaraan. Harus kuakui, hidup di kota metropolitan memberiku pelajaran berharga soal rutinitas dan ketidakpedulian; tentang ruh homo jakartatensis yang bergelora sekaligus sendu; yang sedang belajar ketertiban dan selalu tergesa-gesa.

Seheboh apapun kita, di Jakarta kau barangkali hanya pedar yang tak terlihat. Seikhlas apapun dirimu pada kemacetan yang jadi kanker metropolitan, tidak akan mengubah pesta suara klakson dan parade kendaraan pribadi. Manusia tengah berevolusi di kota yang akan tenggelam.

Sudah dua bulan saya lewatkan Jakarta dengan kenangan bersama ketek-ketek bergelantungan di dalam transjak, himpitan-himpitan di kereta listrik, copet-copet di metromini, suara biola pengamen di kampung melayu, dan sebagainya. Dan sebagainya.

Bandingkan dengan Makassar, ibukota provinsi yang tepat di tengah-tengah Indonesia. Sama-sama berada di tepi pantai dan agaknya punya nafsu yang mirip untuk menjadi makin besar dan tenggelam oleh naiknya permukaan air laut. Hanya, kota ini kelihatannya masih lebih baik lantaran menyiapkan pelampung sebelum tenggelam.

Makassar jauh lebih panas dari Jakarta, dalam musim apa pun, dan dalam kondisi hati bagaimanapun, itu sama sekali tidak mengubah cara matahari membakar bumi. Ini sama sekali tidak buruk, bahkan jika kau berjalan kaki di siang bolong, setidaknya kamu akan jadi mirip turis asing.

Kota ini kecil, dengan lorong-lorongnya, dengan jalan satu arahnya, dengan perempuan-perempuannya, dan sejumlah pengemis yang tiduran di siang hari.

Aku tidak mengenali riwayatnya ketika menyusuri benteng Rotterdam, aku tidak tahu ke arah mana kapal-kapal kecil yang bersandar, tidak juga tahu arah matamu yang menyimpan rahasia masa lalu. Kota ini masih sebuah rahasia bagiku, barangkali juga semua hal yang ada di dalamnya.

-Sent from my blackcoffee-