Orang-orang yang tak banyak merasa memiliki tampaknya lebih mudah bersyukur. Yeah, barangkalai itulah tameng terakhir dari kemiskinan mereka, atau senjata; kadang antara tameng dan senjata tidak bisa dibedakan fungsinya dalam pertempuran.

Ketabahan yang ditempa puluhan tahun di kampung-kampung, di ladang dan tepian gunung, membuat hati mereka sekeras batu jika hanya dihadapkan pada hidup yang papa. Tampaknya, kemiskinan bukanlah ujian yang berat.

Justru kekayaanlah yang agaknya paling bisa menggerogoti hati manusia. Koruptor tidak tumbuh di antantara kemsikinan, tapi dilakukan orang-orang cerdas yang sudah bergelimang segala sesuatu. Dan itu bukan hal baru, terjadi sejak ribuan tahun lalu.

Lebih mudah menemukan pengemis yang bersyukur mendapatkan Rp500 daripada pekerja kantoran yang sujud syukur pada tanggal gajian. Padahal perbedaan nominalnya jauh sekali.

Bagi negara tampaknya ini juga jadi strategi yang selalu diterapkan. Rp300.000 akan membuat orang-orang miskin belajar baris-berbaris di kantor pos, dan dibutuhkan iming-iming keuntungan miliaran untuk menarik investor asing.

Bahwa orang kaya merendahkan orang miskin di kedalaman hatinya, namun bermuka penuh belas kasihan ketika tampil di muka, ya orang sudah maklum dan menutup-nutupinya. Mereka takut kepada orang miskin jika menampilkan kejujuran, sebab serendah-rendahnya mereka tetap ada harga diri juga. Mereka adalah sumbu yang setiap saat bersedia terbakar. Sementara orang kaya tak berani membakar dirinya sendiri.

#ceracau

-Sent from my blackcoffee-