Malam cepat sekali datang di Jakarta ini. Bayangkan, barusan tadi jam delapan pagi aku membuat kopi, dan kini aku sudah duduk untuk kopi keempat di malam hari. Ah, segala waktu semakin cepat saja terlewati, segala jengkal mudah saja terloncati; bisa saja aku tidak tahu apabila aku datang dari masa lalu untuk meramalkan hari ini.

Yang jelas sekarang sudah 17 September, selepas beberapa hari hari ulang tahun yang sepi; dan aku memang lebih suka melupakannya, sebagai bentuk balas dendam atas waktu yang membuat kita tua tanpa pernah mampu kita melawan. Pada yang tak terlawan itu aku melawan; aku melupakannya, aku membuatnya sepi di ujung catatatan yang telah hilang bersama akte kelahiran.

Hari ini aku mengalungkan kartu pers, sesuatu yang begitu jarang kulakukan. Aku suka menyembunyikan identitas itu, entah demi apa. Tapi kukira, aku lebih senang menyembunyikan diriku, entah kenapa. Sebagai wartawan yang tak merasa wartawan kadang aku malu mengalungkan identitasku. Kalung itu membuat penjaga di pengadilan tak memeriksa tasku, tapi mereka memeriksa tas-tas manusia tak berkalung identitas. Mereka yang disebut wartawan dibedakan.

Hanya karena hari ini penjaga memerintahkan aku mengalungkan kartu pers dan aku sedikit marah karenanya, maka kukalungkan saja identitas itu seharian. Aku benci dipaksa. Tapi aku tidak suka melawan hal-hal tak penting. Aku tak pernah keberatan tasku diperiksa walau aku harus benci jika yang memeriksa itu polisi.  Ketidaksukaan terhadap polisi adalah hal mendasar, lebih dari sekadar beralasan atau logis.

Maka hari ini aku menjadi wartawan. Ah, pekerjaan ini, tak banyak kusadari, telah setahun lewat... dan tetap saja aku masih sering malu mengatakan bahwa aku wartawan. Entah malu kenapa. Aku tegas jika mengatakan aku hanya anak seorang buruh atau petani, tapi selalu tertekan saat mengatakan bahwa aku wartawan. Mau tidak mau aku sendiri sebenarnya takut disebut wartawan. Kau tahu, wartawan di dunia berkembang ini ... ehm... Kadang agak mengerikan berada dalam "kumpulan wartawan." Aku tak banyak mengenal wartawan lain. Entah mengapa aku juga selalu kebagian tugas di tempat-tempat sepi dari pergaulan wartawan lain. Komoditas, lalu hukum bisnis.

Ah, tapi lebih karena tak mau terlihat sebagai wartawan maka aku sering menyingkir dari kumpulan wartawan. Aku lebih tenang menyembunyikan mukaku, menutup identitas kewartawanan, dan diperiksa tasku ketika masuk ke pengadilan.

Aku tak ingin mengatakan bahwa ini dunia yang tidak kusukai atau buruk, atau memiliki citra tertentu yang membuat alis seseorang terangkat. Hanya saja, beberapa kali kutemukan, wartawan adalah obyek suap yang sangat mudah. Memang biasanya tersegmentasi, bergantung pada medianya, atau kadang pada idealisme pribadi... tapi aku tidak banyak menemukan idealisme di antara "kumpulan wartawan." Aku sembunyikan kartu pers ku, agar tak ikut diberi jatah sesuatu. Biar aku dikira orang biasa yang tak bisa melakukan apa-apa. Dikira tak mampu melakukan sesuatu membuatku sedikit lebih ringan, sekalipun kamu harus cukup untuk terhina; sayangnya aku sudah banyak belajar untuk terhina. Tak apa, itu hanya asumsi manusia lain, dan mereka bukan malaikat pencatat.

Selain alasan-alasan tak masuk akal itu, memang tak ingin dianggap wartawan. Bahwa ada sebagian kecil dari tugasku adalah menjadi wartawan, ya, tak masalah.... tapi tugas lainnya adalah jadi manusia, jadi penyusup, jadi pencuri, jadi pengintip, jadi apapunlah yang membuatku merasa senang. Wartawan adalah sebuah pekerjaan, manusia adalah sebuah keyakinan ....