18 June 2011

Ehem, tiba-tiba aku megingat kamar itu, lagi (setelah berbagi dengan @kotakhitam_). 3x3 tiga tempat aku membusuk, ternyata sumber kelimpahan yang baru kusadari ketika duduk pada sebuah kenikmatan, pada semacam kepuasan, dan kudapati kekosongan. Ini mungkin sepi yang menyamar, yang datang hanya untuk menghancurkan, tapi aku kira ada hal-hal yang selalu bisa diambil dan dimanfaatkan, bahkan dari sejenis kedukaan.

Nah, kukira pada kamar 3x3 itu aku pernah mewujudkan hal-hal yang dahulu kuimpikan, jauh sebelum aku sendiri menjejaki jogja dalam tahap kedua, tahap aku dewasa. Pada kamar busuk itu kumasukkan segala sesuatu, dari buku hingga mereka yang merebut tempat tidurku. Kulesakkan anak-anak dekil yang melarikan diri, kuringkaskan perempuan-perempuan dalam percakapan sunyi, dan kutembangkan nyanyi dalam lembaran bernama sajak palsu. Di kamar busuk itu kutekuk tubuh dingin dan sakitku, kusapa malam gemericik, tempat kuintip bulan. Aku melihat kenyataan dari dalam sana, tempat kumasukkan seluruh kepalsuanku. Kenyataan itu seperti derit pintu, seperti suara jendela dikibarkan angin, dan seluruh engsel tubuhku ikut menderit seolah hidup itu sebuah kehebohan yang ingin saling bersuara.

Dari dalam 3x3ku itu kuhayati kebusukkan, kutuliskan kegelisahan, dan ada segelintir orang menyukai tulisan-tulisan yang dilahirkan dari rasa sakit. Tak kuingkari bahwa aku juga ekstase dengan kegelisahanku sendiri, aku menikmati rasa kehilangan, aku mencegah diriku untuk bahagia, dan semakin dalam rasa sakit itu, semakin puas aku. Semakin getir hidup, semakin kubanggakan bahwa aku melewatinya dengan dada penuh api; ini hidupku, kau tak berhak mencampurinya secuil upil sekalipun!


Kurasa, dalam 3x3 itu kuhayati sadomasokisme perasaan…atau entahlah. Orang-orang tak pernah tahu, dan tak ingin tahu, dan apa pedulinya untuk tahu, toh hidup mereka sendiri sudah cukup berat dijalani, apalagi diceritakan. Dan aku mengenang, pada kamar itu kutiupkan napas-napas kesesatan, kulampirkan daftar hitam pada perjalanan hidupku, dan belum pernah bisa kutarik sebuah kesimpulan pun dari perjalanan macam itu.

Aku membuat catatan-catatan busukku, aku beberkan sakitku, kutuangkan empeduku, kutarik ulu hatiku, dan aku merasa puas, puas sekali, dan bisa tertawa-tawa riang esok hari. Kulemparkan kelaparanku pada dinding triplek, kutuliskan nama seseorang dan dia mengira aku penyair kesepian.

Dia mungkin penggenap hidupku paling sia-sia, datang saban minggu hanya untuk melihatku mengetik kekosongan, membicarakan yang tak ingin dibicarakan, menatap mata yang selalau menghindar, dan akhirnya kami tak pernah ingin bertemu. Dan dia, hanya satu dari sekian kesia-siaan yang didatangkan padaku. Selalu kuberikan novel-novelku, mengurangi sesak kamar 3x3.

Catatan-catatan yang ada itu akhirnya hilang dengan sendirinya, bersama komputer pinjaman yang diambil pemiliknya. Mulanya aku sungguh merasa kehilangan. Aku mencatat berlembar-lembar perilaku manusia code dan penilaian busukku, aku tuliskan sajak-sajak yang buruk, kubeberkan cerita-cerita tak bermoral, dan semuanya hilang hanya dalam sekali hentakkan.

Namun, kurasa aku harus merasa lega, sakitku diambil orang. Harus. Itu bermakna aku terpaksa. Sebab, memang apa gunanya merintih pelan dan menyesalkan, toh perjalanan hidup itu bukan untuk mewujudkan harapan sepenuhnya.

Kukira sekarang aku mesti berterimakasih pada masalalu, pada sekian tahun kesia-siaan, pada kamar 3x3 dan seluruh kesempatan yang kumasukkan tempat sampah. Seharusnya memang ada yang perlu disesalkan dari sekian itu, hal-hal ang secara moral tidak perlu dilakukan, sesuatu yang keliru dalam hitung-hitunganku. Yang macam itulah, yang mestinya tidak perlu dilakukan. Dan kurasa aku tidak pernah secuil upil pun menyesal.