pagi mengamati cuaca, di dalam sebuah mata, dan tiba-tiba aku ingin melanjutkan tulisan yang pertama, yang kukatakan sebagai Jogja bagian 1 itu. ahay, jiwa-jiwa yang girang berkatilah mereka yang kesepian, tak perlu aku, tak perlu senyum kucingmu itu... hahahaha; hai terang yang kepagian, kenanglah jiwa yang girang, yang ingin melonjak seperti kegilaan dan seluruhnya dan seluruhnya dan segala sesuatu. aku percaya, kadang, bahwa manusia terlalu tua untuk terus hidup di bumi... (hanya pengantar yang tak tahu malu).

aku ke code selepas mahrib. di sana sudah ada nanang yang datang sehari sebelum aku. ini code yang temaram, yang malamnya diselimuti suara gemerujug air sungai, dan akan selalu terdengar merdu. formasi sungai telah berubah. hanya ada pasir dan pasir dan pasir dan air. tak ada lagi kunang-kunang mencari makan, sebab tak ada lagi tumbuhan bertahan. tak ada lagi kecipak ikan pada musim kawin. tapi, setidaknya masih banyak suara manusia.

sejak sebelum aku sampai di jogja, thalia sudah ribut dalam hapeku. terus-terusan ditanyakan kapan aku sampai, kapan aku di code, dan katanya dia akan menjemputku. ah, mau dijemput ke mana juga tidak jelas, lha wong rumahnya saja sudah didekap pasir dan tidak bisa dipakai kok. maka, sesampainya aku di code yang kulakukan adalah menyembunyikan beberapa barang bawaanku, takut diberangus oleh perempuan kurus yang beringas itu. dahulu biasanya dia datang sebagai trio macan yang super cerewet dan penuh dengan hasrat untuk meminta benda-benda yang aku miliki; dari pensil, buku, sampai jaket satu-satunya yang kumiliki. dan entah kali ini, dia datang bersama siapa.

bersamaan dengan itu, wendi juga berkali-kali sms menanyakan kapan aku di code. dan tak begitu lama, datanglah wendi. lalu beberapa menit kemudian thalia dan lia. dan mulailah mereka meracau, bicara aneka macam, dari soal lagu-lagu, hape, sampai pacar sambil menghabisi beberapa roti coklat yang sudah kusiapkan. dulu mereka sering bertiga dengan wanti, atau berempat dengan novi. sekarang novi sudah pergi, tak jelas ada di mana. sedangkan wanti tampaknya banyak berubah. aku dengar kabar dia mau dijadikan artis dengan bayar sekian ratus ribu … bla bla bla. sedang adiknya, jepi, malahan sudah ikut main sinetron. mungkin mereka mengikuti karirku di dunia film, huahahahahahahaha.

malam itu aku dipaksa traktir dua bocah yang sudah hobi keluyuran malam. suatu saat, beberapa waktu setelah kunjungan ke jogja, aku baru tahu bahwa mereka mulai mecoba rokok dan minuman. wendi ikut kerja di tempat pocinan, atau warung lesehan di kotabaru, tepat di tepi code. di tempat mae wiwit. mereka juga satu kontrakan, sehingga pekerjaan itu lebih tampak sebagai tolong menolong saja. wendi sendiri tampak tidak pernah puas kalau itu disebut pekerjaan, toh ia hanya dibayar sepuluh ribu untuk semalam. ia juga tidak bersemangat membantu di sana. (yang pada akhirnya terjadi peristiwa yang pernah kutulis)

ah,,, sebagai sebuah lanjutan, tulisan ini tampaknya tidak mau berlaku kronologis (pada mulanya aku berpikir bahwa cukup baik menceritakan semuanya satu per satu, namun karena batu waktu menjaraki tulisan ini dengan bagian satu maka jadi begitu sulit melanjutkan bertutur secara kronologi waktu.)

aku mau langsung cerita pada nasib kamar 3x3 tempatku dahulu mendekam, mengerang sakit perut, atau di suatu malam saat aku sakit kepala luar biasa datang segerombolan anak manusia yang menjarah waktu istirahatku. anak-anak yang manis, yang tak pernah tahu mau jadi apa di dunia yang begini-begini saja.

kamar itu sudah tidak terurus. tak ada lagi penghuni, mungkin tinggal cicak dan tikus di sana. ular pun tak sudi menengok. yah, dahulu ada seekor ular yang jatuh dari atas, dari sela-sela dinding triplek bagian atas, di saat aku sedang membaca buku. ular kecil itu sangat bau dan licin. tubuhnya kuikat dengan tali dan kubekap dengan plester, tapi sayang sekali dia bisa lolos juga. kamar itu sudah seperti laki-laki kesepian, tak ada lagi yang menyambanginya saban malam, tak ada lagi yang dipeluknya di dalam sana. bahkan para pemabuk tampak menjauhi. mereka lebih memilih kamar di sampingnya, kamar mereka sebelum aku datang ke sana.

dan sebuah tulisan secara terhormat masih tertempel di pintu kamarku itu, “Ode buat yang kalah”, sebuah stiker promosi dari Kinoki, komunitas nonton film gratis yang kemudian hari juga menyewa tempat di daerah Kotabaru. kupikir, kalimat itu memang layak di sana, layak ketika aku tinggal di dalamnya; orang kalah yang butuh sebuah lagu untuk merayakan segala sesuatu, termasuk merayakan kekalahannya. kekalahan adalah hal keren, sesuatu yang patut manusia hargai, sebab tidak saban manusia bisa kalah dan lalu merayakannya.

di dalam masih kelihatan biru. aku hanya berani menengok dari luar, mengintip dari jendela dan menatap pintunya yang tak bergembok. anak coklat-kehitaman yang ditinggalkan bapaknya untuk dititikan di situ dahulu telah diusir pak takmir, sebab tak bisa menjaga kebersihan. dulu pun dia sudah sering membuatku jengkel, mulai dari akuisisi meja, kehilangan uang dan hape, sampai memasukkan orang asing yang tidak jelas asal-usul dan tujuan hidupnya. dan aku pernah berkali-kali hendak menampar wajah imut si bengal. sekali dia jadi saksi bagaimana aku marah pada segala sesuatu. kulemparkan stabilo kuat-kuat pada dinding triplek sebab kelaparan yang menyiksaku dan peristiwa kantor pos di hari jumat.

dan kamar itu seperti merindukanku. jendelanya yang biru menderit kecapekan. si bocah dulu sering masuk lewat jendela itu. dia juga yang paling sering merusak gembok. dan anehnya aku hanya bisa marah secara verbal.

di bagian luar, saksi atas keisenganku memasak di jalan dekat talud sudah hilang. dahulu dinding luar di bawah kamar itu kehitaman oleh karena di situ kami jadikan tempat masak. dan sesungguhnya semua itu inovasi. hahahahaha, tak ada seorangpun sebelumnya berani memasak dengan api unggun di bawah masjid, kecuali seorang manusia yang memiliki dua kompor warisan bu RT tapi tidak pernah mampu membeli minyak tanah.

itu memang lagu untuk mereka yang kalah; dan tetap merayakannya!