30 maret

ini bukan ladang peperangan, tapi anak-anak terdampar dalam caranya masing-masing. kami tak pernah memanggil kehidupan ini dengan kata-kata permusuhan, tapi dunia nyata adalah tempat kami bertukar nasib dengan cerita-cerita kerusakan yang mesti ditanggung, sendiri dalam kegelapan atau bersama-sama dalam rasa sakit. jogja bukanlah area perang, tapi kami tahu bahwa kehidupanlah yang mesti dipertaruhkan oleh masing-masing orang. dan tiap orang berhak untuk tidak mendapatkan apa-apa, sama seperti ketika kita percaya bahwa tiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari orangtua.

kehidupan tak pernah memaksa manusia memilih jalan yang baik, yang lurus, atau yang kita namakan sebagai jalan yang benar. karena itu orang-orang mengambil sikap, dan banyak diantaranya memilih langkah yang dicela dan menjalani fase-fase tercelanya dalam masyarakat yang mengaku beradab. bahkan anak-anak pun sudah memutuskan ke mana ia akan membawa tubuh pinjaman dari tuhan yang mahaesa.

jogja bagian terindah dari kehidupan orang-orang tertentu, bagian dari kekuasaan para raja dan kerabat keraton, bagian dari percintaan di masa sekolah, atau hanya bagian dari tujuan wisata yang menarik, sama dengan nama tempat lainnya. bagi sebagian orang yang lain, jogja adalah kehidupan yang tidak pernah menjadi area damai. di sana ada perang sehari-hari yang menuntut orang untuk mengalahkannya. atau lebih tepat kukatakan bahwa itu bukan mengenai jogja, tapi berasal dari kehidupan biasa yang sehari-hari dijalani orang-orang melarat, orang-orang yang jelas-jelas berada di strata paling bawah dengan seluruh konsekuensinya. dan di sana juga hidup anak-anak yang memandang kehidupan dengan cara yang jenaka, hidup adalah permainan yang patut dijalani, tanpa pernah terpikir untuk menghindari ini satu hari nanti.

bagaimanapun, anak-anak adalah bagian terpenting dari code. dari merekalah aku belajar untuk tidak terlalu menerima rasa sakit, dan selalu bermain-main dengan tekanan. anak yang baru saja bertengkar bisa dengan cepat memaafkan dan lalu bermain bersama. anak-anak yang disakiti ‘orangtua’-nya bisa tetap memeluk mereka dengan perasaan hangat, sekalipun ada darah yang belum kering di punggungnya.

rasanya aku tak berhak mengeluh ketika melihat mereka tiap hari berpanas-panas di bawah terik, tanpa sandal, tanpa topi. mereka menggendong korannya dengan senyuman ketika bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya, tak peduli kalau sebelumnya mereka dimaki-maki oleh pengendara yang merasa terhalangi. ahai, aku tak berhak mengeluh di saat mereka ke sekolah hanya mengenakan satu-satunya sergam yang dimiliki. atau, bagaimana bisa aku mengeluh kelaparan kalau anak-anak saja tahu caranya mendapatkan makanan tanpa minta ke orangtua. bagaimana aku bisa mengeluh tentang tidur yang hanya beralas karpet sedangkan mereka pergi berhari-hari, tidur di sembarang tempat, dan pulang dengan wajah tersenyum seperti tak pernah terjadi apa-apa yang menyakiti.

meskipun aku juga belajar sebagian putus asa, pesimisme, dan penerimaan yang terlalu dipaksakan. aku membaca keraguan yang terlalu besar kalau bertanya pada mereka mengenai cita-cita.