my ceret

aku telah berjarak cukup jauh dengan code, juga dengan cerita mengenainya. kedatanganku memang selalu dipertanyakan, terutama oleh anak-anak, tapi sebenarnya tidaklah begitu bermakna. semalam aku juga sempat mengatakan, pada para introgator itu, bahwa aku sebetulnya putus asa soal code. lima tahun hanya menjadi lebih buruk. hanya aku sendiri saja yang tampaknya menikmati proses perjuangannya, sedangkan orang lain yang mestinya diperjuangkan malah tidak mendapat apa-apa; hanya melangsungkan kesengsaraan yang sudah mereka bina.

aku tak menyesal. sama sekali tak menyesal, tapi aku perlu perubahan dalam diriku sendiri, sebelum tiba-tiba aku menyadari sudah terlalu lama di code dan tidak ada yang berubah selain usia kita.

beberapa hari di code justru membuatku merasa sepi. bagaimanapun, kunjungan ke code sebagai seorang pelancong sangat membosankan. aku sadar, tanpa menjadi diriku yang dulu aku sulit menikmati code. kukira aku justru menikmati kesibukan, yang mungkin saja sia-sia, di masa lalu. aku tiba-tiba sangat rindu momen menyapu halaman tempat tinggal di pagi hari. membereskan buku-buku di perpustakaan. mencatat buku yang dipinjam. menceritakan sesuatu yang tak masuk akal pada nugroho. menggoda vitri yang selalu mengiraku sebagai orang kaya. atau melayani semua permintaan intan dan barsa. ya, betapa sepinya kita tanpa aktivitas, seperti memasuki dunia tak berkontur, tak berwarna.

aku bangun pagi hari, di perpustakaan, dengan pandangan hampa. menikmati suara sungai, tak lagi senikmat kalau aku bangun dengan satu harapan melakukan pekerjaan kecil-kecilan; mengumpulkan kayu, memasang batu bata, menyiapkan panci, dan mulai menanak nasi. atau memotong daun-daun yang berlebih dari tanaman di depan masjid. menggosok kamar mandi yang berbau amoniak. atau sekadar memasak air untuk segelas kopi yang pahit. lalu aku nyalakan komputer milik nanang, dan pura-pura mengerjakan skripsi.

kebosanan. atau mungkin kehampaan yang kurasakan di pagi macam itu.

selama di code aku tidur di perpustakaan, atau sebetulnya bangunan dengan tulisan “Museum Romo Mangun,” yang isinya sama sekali tidak menggambarkan bahwa bangunan itu adalah museum yang didedikasikan untuk sang legenda code. ya, itu hanya permainan segelintir manusia yang masih hidup, yang mungkin memiliki aneka macam maksud dan tujuan dengan mendirikan sebuah museum untuk seseorang yang tidak suka dengan kultus individu. tak banyak berubah dari keadaan terakhir aku berkunjung, sudah sangat kacau. buku-buku tak terbaca yang dipajang makin lesu, ujungnya terlipat seperti manusia yang menunduk, tak ada gairah. komputer masih dengan keruwetan kabel-kabel di belakangnya. kasur bau dan kusut milik Gandung. pakaian, entah kotor entah bersih, bertumpuk di sebuah kardus besar; sekacau pemiliknya yang sedang sakit kakinya.

buku-buku di bawah sudah di pindah ke atas. aku dulu sempat mengkhawatirkan perpustakaan ini ketika terjadi banjir lahar. dan ruamh itu memang terlalu jauh untuk dijangkau air sungai. tapi buku-buku perpus tetap dipindah ke atas. hanya tinggal buku-bukuku dan buku milik Nanang di bawah sana, lengkap dengan lemari jelek yang kami usung dari bawah masjid.

ah, mengenaskan ya; bahwa dahulu ini adalah perpustakaan yang cukup kusukai. kecil tapi tertata dan anak-anak suka bermain ke sana. hampir tiap hari, dulu, aku ada di sana. sekadar melipat kertas sambil menunggu anak-anak main puzzle, atau memandangi sungai di sore hari yang hangat. dan kesunyianlah yang kudapat sekarang.

***
sehari sebelum pulang ke jakarta aku bertemu beberapa orang kawan. Any yang baru datang dari Blitar berjanji akan datang ke kosnya yosi, dan aku menungunya dari siang hari. perempuan itu membawa sepeda dari kosnya, dekat stasiun Lempuyangan ke daerah Karanggayam, cukup melelahkan untuk seorang perempuan, mengingat beberapa jalan menuju ke sana terdapat tanjakan curam. Any sudah berbeda dengan Any yang dahulu, sekarang dia mengenakan jilbab, dan itu menyebabkannya mirip dengan Galuh.

sore itu kami akan makan di pondok jamur, sebab aku suka sekali dengan jamur dan baru kali itu aku melihat pondok jamur (atau namanya rumah jamur ya?). sebetulnya aku hanya mengajak surip, yosi, dan any, juga intan sebetulnya, tapi intan sedang sakit. tapi tiba-tiba para sintesaist datang ke pondok jamur. windu masih dengan rambut brindil, jidat lebar dan senyum manis dan sebatang rokok. leluconnya tidak banyak berubah, masih seputar kapitalisme dan marxisme. dia membawa bungkus rokok yang dibuatnya sendiri, dengan desain unik, plus berbagai tulisan yang khas kelas buruh, agitasi marxis. rokok kaum buruh. sayangnya, isinya L.A.

beberapa masih kukenal, beberapa orang baru. manusia-manusia yang biasanya datang ke kampus bukan untuk kuliah, melainkan pesan secangkir kopi di kantin dan mengobrol sampai sore, atau sekadar membaca buku-buku yang dipahami oleh sesama kaum sok kiri ini. aku sendiri tidak begitu paham dengan marxisme, dan lebih suka membawa novel atau buku puisi. itu dimulai dari sebelum jamanku dulu, ketika aku paling menyukai kantin dibanding ruang-ruang kuliah atau bahkan perpustakaan. datang ke kampus hanya untuk menunggu orang-orang sok kiri berdiskusi, ngobrol tak jelas, atau membuat dan berbagi lelucon, sambil melihat perempuan-perempuan cantik berseliweran, sesekali mata nyungsep ke pantat yang terlupa dilindungi oleh celana. karena itu mereka sering lulus telat, ya macam aku pula inilah.

di pondok jamur mereka masih melucu dengan kegaringannya masing-masing. saling mengolok dan menirukan gaya bicara orang lain, atau sekadar menanyakan kabar. ya, setidaknya, ini bagian dari kunjungan ke jogja yang tidak membosankan.

rika juga sedang ke jogja, tapi tidak bareng denganku. dia datang lebih dahulu, dan akan pulang lebih cepat. yosep juga mengabarkan akan ke jogja, selepas dari surabaya dan jakarta. guru sma di medan yang memacari muridnya sendiri ini adalah teman seperjuangan di sintesa, persma di fisipol. dan anak-anak sintesa memiliki keterikatan-persaudaraan yang luar biasa, bukan hanya dari satu angkatan. bahkan kami kadang suka mengingat-ingatkan bahwa kami ini “turunan” dari rizal mallarangeng (dan juga kakaknya si kumis itu), meski kami lebih suka mengolok-olok mereka. kadang kami mengagumi senior kami macam andi arif, atau arif affandi, atau juga yang kemudian menjadi dosen-dosen kami, tapi jauh lebih banyak muncul semacam lelucon mengenai mereka, atau mungkin semacam “kedukaan” bahwa tiba-tiba mereka yang dahulu sangat kiri tiba-tiba menjadi bagian dari kekuasaan. tapi untuk rizal, kami tidak pernah meragukan ke-kanan-nya. 

*** 

ada tiga orang sintesaist yang bergabung ke bisnis indonesia. aku tidak tahu di rentang yang lalu, mungkinkah ada yang lain. sementara di kontan juga ada seorang sintesaist. tentunya ini membuat beberapa orang bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi kepada para aktivis ini? 
yeah, wartawan ekonomi tidak menjadi sama dengan berpindah kantung ke kanan, sekalipun bisa. 
tapi, untuk mereka yang mendaku aktivist, peringatan dari para SI paris mungkin berguna:
Anak-anak muda memberontak, tapi ini hanyalah pemberontakan abadi anak muda: setiap generasi memberi alasan-alasan pemberontakannya sendiri, dan hanya segera melupakannya saat "anak muda memulai bisnis yang serius mengenai produksi dan diberikan tujuan-tujuan sosial yang jelas dan nyata".