Aku hanya ingin menutup pintu dan menggemboknya, siapa tahu kenangan betah di dalam sana, dalam selimut kumal tua yang berbau angin. Hm, sebab aku hanya ingin melibatkan diriku sesedikit mungkin soal rumahtangga, soal kepentingan-kepentingan, soal makan tiga kali dan sejumlah permintaan anak-anak. Dengan mengunci pintu rumah, aku berharap kita merasa aman, sekalipun hakikat tidak akan tergembok, apalagi dalam sebuah rumah. Aku sadar sepenuhnya saat meninggalkannya, bahwa segala sesuatu akan memberontak dan pergi. Dan, kenangan pasti akan pergi; entah lewat jendela atau mendobrak pintu tua itu. biarlah, aku mau pergi ke jakarta, sesalku dahulu.

Pergi ke jakarta seperti tualang ke sebuah jeda yang panjang, kita tidak tahu mengapa kita mesti mengambil jeda, sama tidak tahunya mengapa mesti ada di jakarta. Kota yang kumal di pinggir-pinggirnya dan gersang di sepanjang jalanan pasti mencibir kedatangan tiap pengungsi dari negeri miskin seperti karanggede atau wonosari. Tapi tiap orang pasti suka jeda, dan banyak orang dengan segala siksaannya masing-masing pasti menyukai jakarta. Saat kita menikmati jeda, saat itulah biasanya kita mengenang dengan bahagia, sekalipun yang kita kenang adalah sebuah dosa ataupun siksaan di masa lalu. Kita menyukai kenangan sebab kita tidak akan benar-benar disentuh olehnya.

Dalam kenangan itu aku meninggalkan sebuah cermin yang kuambil dari kos temanku saat ia pindah tempat bernaung. Kaca itu tebal dengan pinggirnya yang masih rapi, tanpa bocel. Dengan kaca itu, dulu, kuamat-amati hidungku, kupandang-pandang mata coklat yang keruh, dan kuolok-olok wajah jelek di dalam sana. Tapi aku melihat gumpalan senyum menantang dari sepasang bibir kering yang kurang serasi. Pria di dalam cermin agak berbeda dengan pria yang berdiri di depan kaca; selalu terasa demikian bagi siapapun yang sadar diri.


Dengan kaca itu aku menangkap perbedaan antara yang terpantul dalam cermin dengan tubuh yang tiap hari kupakai bercermin. Namun, kebanyak orang tertipu dengan cermin sehingga mempercayai begitu saja penampakan yang terpantul di sana. Sedangkan aku selalu curiga, jangan-jangan bayangan dalam cermin itu hanyalah sosok yang menyusup saja. Mungkin ia menyusup pada pikiran kita, mungkin juga menyusup dalam ruh manusia yang tidak seberapa berharga itu.

Pada musim kemarau 2007 aku menempatkan cermin itu di dekat jendela. Aku memasang paku sebagai penopang. Dengan menempatkannya di dekat jendela, aku bisa melihat lebih terang, sebab wajahku akan terpapapar langsung oleh cahaya dari luar, dari pantulan sungai code yang menimbulkan goyangan. aku berkaca tiap kali hendak keluar kamar, memeriksa apakah ada yang salah dengan letak hidung itu, atau ada yang keliru dengan warna alis tebal. Mungkin saja ada yang mencoba menyelewengkan fungsi telinga sehingga jadi bibir. Biasanya semuanya oke-oke saja, hanya rambutku yang terus tumbuh sering menjadi penganggu yang akan dibereskan oleh sebuah sisir hijau yang kuperoleh dari jogoyudan, milik seorang teman yang lebih dahulu melarikan diri pergumulan dengan orang-orang melarat.
………..

Cermin itu memberiku banyak hal, lebih banyak daripada yang kusangka hanya sebuah wajah dengan ornamen-ornamen purba. Aku memiliki satu benda hitam kecil di bawah mata yang biasa disebut tahilalat. Benda itu memang menyerupai kotoran, sehingga tampak pas disebut tahi. Tapi, kalau dibandingkan dengan tahi lalat sungguhan pasti berbeda jauh. Kotoran lalat sangat kecil. Hampir tidak terlihat. Sedangkan tahilalat terlihat sebesar lalat itu sendiri, lalat jantan.

Aku menyadari tahilalat itu sejak sd. Dahulu sepertinya sangat kecil namun terasa menonjol sehingga aku suka sekali menjiwitnya. Bahkan aku berharap bisa menghilangkannya seperti menghilangkan kutil. Namun, sampai usiaku sekarang, tahilalat itu makin kukuh saja menduduki pipiku.

Seorang temanku, teman waktu kecil di kalimantan dan bertemu lagi kemudian hari di Solo mengatakan bahwa dia merasa kalau dahulu aku tidak memiliki tahilalat itu. aku sendiri berharap tidak memiliki tahulalat ini. Sebab, tiap kali bercermin dan kutup tahilalat itu, aku tampak lebih ganteng.

Cermin di kamar itu juga membuatku percaya diri menghadapi dunia sebab aku merasa beres di hadapannya. Sedangkan cermin-cermin lain seringkali menunjukkan keburukan wajahku sehingga membuatku harus menahan perasaan minder di hadapannya.

Kadang aku mengolok-olok wajah yang muncul di cermin itu, wajah dungu yang matanya keruh dengan pipi melengkung ke dalam. Wajah itu begitu buruk sampai-sampai senyumnya pun membuat anak-anak kecil menangis dan udara menjadi dingin. Dan kekakuannya dalam menggerakkan bibir menenadai kesulitannya dalam bergaul dengan manusia, seolah dia berasal dari kedalaman hutan yang lama tak terjamah manusia.

Begitulah cermin itu bermanfaat. Kadang aku lupa bahwa wajah di cermin itu adalah diriku sendiri.