Terminal Blok-M jadi salah satu sudut favorit untuk menikmati keramaian. (Aneh ki,....) Terminal ini cukup bersih, kecuali kalau kita menganggap bis-bis karatan yang masuk terminal sebagai sampah, dan para gelandangan dekil sebagai sampah berjalan lainnya. Kecuali bis trans jakarta, hampir semua bis kota yang masuk ke sana tampak karatan dan lebih layak dijual kiloan. Sudah begitu, sopir mikrolet kadang-kadang tidak tahu diri, melarikan si tua karatan seenak hati, main terobos main sikat! Sedangkan semua bis kota yang besar, tampaknya, semuanya bekas dari Jepang. Entah dari tahun berapa. Bis-bis itu masih dipenuhi dengan huruf-huruf kanji.




Aku menyukai terminal Blok-M lantaran sebuah sudutnya menyembunyikan toko buku bekas (buku bekas sebekas-bekasnya!) Baru beberapa kali ke sana, tapi selalu membuatku ingin mencium aroma buku-buku tua. Tapi, buku-buku di sini lebih banyak komik dan majalah bekas. Semua bekas. Tampaknya aku menyukai yang bekas-bekas ya??? Tapi, ini menyenangkan sekali. Ada banyak buku dengan bahasa asing, dari bahasa Belanda sampai Perancis. Juga, banyak novel-novel picisan khas peninggalan tahun-tahun 60-an, 70-an, dan 80-an. Dan, ini yang menarik, Motinggo Busye!


Selama di mikrolet dari tukangan, aku berpikir sesuatu tentang Jogja. Dan, itu menyangkut Montinggo Busye yang pernah kubacai namanya di ulasan sastra Horison tua, kala aku masih SMA. Aku senang sekali membaca Horison terbitan tahun 1990-an, bahkan aku senang kalau menemukan yang lebih bulukan, lebih tua dari usiaku. Nama-nama orang inilah yang sebenarnya kuidentifikasi sebagai Jogja.


Aku memang tak kenal Jogja waktu itu, kecuali dari buku-buku pelajaran dan esai-esai di Horison. Aku menyukai Emha, maka aku suka Jogja. Aku menyukai Rendra, maka aku suka Jogja. Suka yang ala kadarnya. Nah, Motinggo Busye ini atau aslinya Bustomi Bawazier, menempati satu ruang di kepalaku. Aku hanya membaca sedikit dari tulisannya, tapi itulah yang mungkin membuatku ingat nama itu. Sedikit sekali yang kubaca, karena ternyata ia itu juga menulis buku-buku yang dinilai sebagai cerita picisan. Macam apa itu? aku tak tahu. Aku palng banter baca Malam Jahanam atau dua tengkorak kepala. Dan aku suka. Jadi, gosip tentang cerita-cerita picisan tadi nggak pernah masuk keplaku.


Sampai satu kebetulan aku mengunjungi toko buku-buku bekas tadi. Buku Motinggo Busye sebaris dengan novel-novel harlequin. Juga Anne Mather. Sumpah, aku baru tahu ada penulis bernama seperti itu kemarin minggu itu. Dan yang membuatku terus teringat nama itu adalah judul-judul novelnya yang mirip judul-judul lagu dangdut jaman dulu. Ini beberapa judulnya:
Dendam dan Cinta
Terjerat Bisikan Hati
Dalam Lambaian Cinta
Komplotan Cinta Kasih
Tak Menentu
Manisnya Ilusi
Kemelut Cinta
Gejolak Hati Remaja
Mencairnya Hati yang Beku 


Aku hampir tertawa sendiri melihat daftar judul itu. Sudah begitu, cetakan huruf-hurufnya tampak seperti ketikan manual, bergelombang, tak rata.
Oh, sudahlah. Aku sudah menemukan bukunya Motinggo Busye, yang judulnya tidak kalah dangdutnya:
Tante Maryati 
Madu Prahara
Dosa Kita Semua, dll


Tapi, aku lebih hormatlah dengan penulis satu ini, toh belum kubacai buku-bukunya itu. Aku membeli emat buku, dua puluh ribu. 
http://sites.google.com/site/puthutbuchori/galeri
Foto pertunjukan garapan Puthut Buchori atas karya Busye, Malam Jahanam