tetanggaku.
hanya segelintir orang yang bisa memahami laki-laki pemarah yang kalem itu. aku tidak masuk dalam hitungan. aku hanya akrab dengan anak-anak dari laki-laki yang ditahbiskan sebagai penjaga museum romo mangun yang kosong itu. anak-anaknya mewarisi garis wajahnya. anak pertamanya sudah hamil pada umur yang belum genap enam belas tahun. anak keduanya juga perempuan cantik 12-13 tahunan. anak pertamanya bisa menyelesaikan sd. anak keduanya tidak. dan anak ketiga dan keempat hampir saja tidak diperkenankan menikmati sd.


dua anak perempuannya bisa dibilang kegagalan moral. meski aku sebetulnya tidak mengerti hal itu. saat aku masih ketua muda-mudi/karangtaruna, kedua anak ini memang menjadi polemik tentang pilihan hidup bebas a la anak muda jaman sekarang dengan perilaku konservatif warga kampung. aku mencoba melibatkan diri dalam kehidupan keluarga itu, hanya sebatas hubungan sosial biasa.

mendekat ke keluarga itu adalah langkah terbalik dari keinginan mayoritas warga kampung. laki-laki itu beberapa kali menimbulkan masalah. perilakunya dianggap sebagai cacat di kampung, walaupun hampir semua orang di dunia ini cacat karena perilaku mereka di dunia. ia akan menjadi salah satu manusia berisik dan perusak kalau mabuk. untung, perilakunya yang agak menutup diri dan kemiskinanya, juga ketakutan-ketakutannya telah memberi batas, sehingga ia jarang menegak minuman keras.

aku juga lebih akrab dengan ibu laki-laki itu, seorang nenek dari empat cucu. ia dan istri laki-laki inilah yang mencari nafkah untuk seluruh keluarga. sedangkan laki-laki itu tidak akan pernah bergerak jauh dari kampung. ada ketakutan yang disembunyikannya. sekilas lalu, pernah kudengar mengenai perannya di JJ, sebuah diskotek kelas bawah di dekat kricak.

laki-laki ini bersama anak laki-lakinya yang berumur 8-9 tahunan pernah berjalan kaki dari magelang ke jogja.  entah karena tak punya uang untuk naik bis atau kerena keinginan pribadi, aku tak tahu. ini mengingatkanku pada seorang laki-laki yang menuntun anaknya keliling jogja tanpa henti, jalan kaki. keduanya tak pernah memakai alas kaki. keduanya, kukira gila, neurosis dalam arti sesungguhnya. aku sering berpapasan saat pergi atau pulang kuliah, selama sekian bulan. keduanya selalu dalam kondisi jalan kaki. si anak berjalan dengan berjinjit. kaki keduanya sudah kapalan, berwarna hitam. pakaian mereka dobel, lusuh, sobek, dan bacin. jalannya selalu cepat, hampir berlari. keduanya tidak menampakkan ekspresi kesakitan. aku tak tahu ke mana mereka sekarang.

sedangkan mengenai tetanggaku, kukira aku sedikit lebih tahu. nenek anak-anak itu, katakanlah, seorang pengemis. sebetulnya, yang laing kubenci adalah menyebutnya sebagai seorang pengemis meski pada kenyataannya dia meminta-minta di jalan. pada awal aku tinggal di kampung itu, keempat cucunya sering menyatroniku di kamar 3x3. mereka akan belajar mengetik dengan mesin ketik manualku. belajar menulis dan membaca. keempatnya tak sekolah kala itu. ayah anak-anak ini melarangnya. namun, atas kegigihan si nenek yang pengemis itu, kedua anak yang masih kecil akhirnya bisa meneruskan sekolah.

kukira itu juga dengan perjuangan yang berat. aku ingat bagaimana dia menyicil membelikan buku, lalu alat tulis, dan kemudian seragam. semuanya dititipkan di kamarku karena takut pada ayah si anak-anak. setelah setahun berhenti sekolah, keduanya akhirnya meneruskan sekolah beberapa bulan setelah aku tinggal di kampung itu. entah bagaimana si nenek dan si ibu, yang tampak selalu mengalah, membujuk laki-laki kalem yang bisa jadi sangat ganas itu.

ketika aku menghuni perpustakaan, yang otomatis hanya berbatas satu dinding gedhek dengan keluarga itu, aku jadi lebih akrab dengan si nenek. meski jarang bercerita, kadang aku sempat melihatnya menangis. sedangkan laki-laki kalem itu, sebenarnya masih cukup waras. bahkan dia akan bekerja keras, asal pekerjaannya tidak keluar dari kampung. dia akan mengajak anak laki-lakinya menambang pasir di sungai jika ada yang memesan pasir. dia tak pernah dibantah. dia diktator yang hening.

satu yang baru kusadari ketika aku lebih sering dekat dengan keluarga itu adalah, kesukaannya pada kerapihan dan kebersihan. dia tak akan membiarkan daun-daun rontok di halaman tempat tinggalnya tanpa usaha untuk menyingkirkannya. itu juga diturunkan pada semua anaknya.

(hanya sebuah usaha untuk mengingat)