aku pernah bersusah payah membuat catatan-catatan dengan sebuah mesin ketik manual. terutama ketika aku mulai tinggal di jogja, terutama lagi ketika aku di code. sebuah mesin ketik buatan jepang, (tiba2 aku lupa mereknya), yang ayah belikan untuk kami dari seorang cina tua beruban yang memiliki istri dua. istri mudanya sering bersembunyi di tempat tinggal kami kalau istri tuanya datang ke kios barang-barang bekasnya. siapa nama laki-laki cina itu ya? aku benar2 lupa, tapi aku sangat ingat rupa wajahnya, tubuhnya, janggutnya, dan bagaimana dia menyeleksi mur dan baut lalu mengumpukan dalam satu wadah. kadang dia jual sepeda bekas, yakni bila ada orang yang menawarinya sepeda bekas. kios milik laki-laki cina itu memiliki sebuah penutup kain, sebagai 'deklit' atau tenda pelindung dari panas, dengan tulisan takashimura ... 


dan, mesin ketik itu ayah beli sekira 200 ribuan (harga tepatnya aku juga lupa, tapi aku menganggapnya terlalu mahal). aku memang agak merengeng-rengeng minta dibelikan mesin ketik, karena mesin ketik milik pakdhe sering harus segera dipulangkan, kalau tidak budhe akan marah-marah. padahal itu 100 persen milik pakdhe loh... tapi, ya begitulah budhe. bahkan, aku sering disuruhnya mengambil koran yang dipinjam tetangga, padahal korannya baru saja dia pinjam... yah, aku sih tak mau, kubilang malu kalau harus berbohong ini itu. mesin ketik milik pakdhe itu pernah kupakai menulis cerpen dan beberapa puisi. ketika itu aku masih sma dan senang sekali bermimpi jadi seorang penulis. tapi, cerpen pertamaku yang dimuat sebuah tabloid anak-anak adalah tulisan tangan. 



kupikir, dengan memiliki mesin ketik sendiri, aku bisa menjadi penulis sungguhan. aku sering membuat suara paling gaduh dengan mesin ketik itu. karena aku menulis pada malam hari ketika banyak suara telah tidur juga. tak ada yang menyaingi suara tak-tik-tuk dua jariku... menyenangkan sekali. aku selalu mencoba menulis cepat, mencoba mengejar mimpi .... huh, tapi malah jadi sering salah. 

tugas kuliah pertamaku juga kutulis dengan mesin ketik itu. aku ditertawakan teman-temanku karena itu. tapi aku suka. aku sama sekali tidak merasa kuno. ketikan itu rapi, dan perlu banyak kertas untuk membuatnya benar-benar terlihat seperti tulisan petugas kelurahan. tiap kali membuat surat pernyataan pendapatan orang tua, aku mengarangnya juga dengan mesin ketik itu, yang justru membuatnya tampak meyakinkan (bahwa aku orang miskin???? huahahahahahahahaK). 

aku membawanya ke jogja dengan susah payah. maklum, kalau kumasukkan tas, tasku sudah dipenuhi sembako; tidak bisa lagi berebut tempat dengan beras, mie, bumbu, dan minyak goreng. aku membungkusnya dengan plastik hitam hanya agar tidak terlihat nyentrik di jalan. bis semarang-solo biasanya penuh, tapi bis solo-jogja lumayan longgar dan cepat. tapi, di bis kota, aku harus bermuka biasa biar tidak dicurigai dengan barang bawaan sebanyak itu. tas besar nemplok di punggung, dan sebuah platik hitam besar ditenteng...  

aku senang mesin tik itu tiba dengan selamat di jogja. aku mulai mengetik dan mengetik, mencatat dan mencatat, membuat keributan di malam hari dan mengganggu tidur teman-temanku. aku mengumpulkan catatan demi catatan. aku menulis puisi demi puisi. aku membuang kelaparan di sana. aku menumpahkan kesedihan ditolak perempuan di sana. aku menulis surat cinta di sana. 

lalu, ia ikut ke code, mengungsi bersama seluruh hidupku. aku mencatat dan mengumpulkan makin banyak catatan. yang jelas, banyak juga yang hilang entah kemana. aku bermimpi menjadi penulis bersama mesin ketik itu. tapi, aku hanya menghasilkan sedikit tulisan yang "selesai". dan lebih sedikit lagi yang dimuat dan menghasilkan uang. aku lebih banyak belajar untuk marah, membenci, menangis, dan mencintai anak-anak dengan mesin ketik itu. 

hah... aku ingin mengajaknya ke jakarta, tapi di sini sudah begitu banyak komputer. dan, di mana aku bisa menemukan toko yang menjual tinta untuk mesin ketik tua...