Kalau aku jadi dia, buron kelas teri atau kriminil "tak-sengaja", aku akan sekolah ke LP alias lembaga penjahat, biar jadi penjahat kelas kakap atau kelas lumba-lumba, atau paus. Untung saja aku bukan dia, karena kalau benar-benar jadi dia, ini semua hanya omong kosong belaka. Anehnya, dia dan kenyataan ini terasa sekali, teraba, terdengar, tercium aromanya, dan ada. Hmmm.... Jakarta, kupikir memang tempat yang layak untuk menyembunyikan diri, untuk "tidak-hadir", untuk jadi sesuatu yang tidak dipertimbangkan, sehingga kalau kita jadi buron di suatu tempat lain maka kita bisa menjadi bukan apa-apa di Jakarta.

Tapi, dia tinggalkan becak dana anak-istri, tinggalkan jejak yang kurang sedap... untuk mengelap keringat di sini, untuk menghilang. Menjadi kriminil memang pilihan, tapi pilihan-pilihan kadang memaksakan dirinya untuk dipilih karena keterdesakan hidup dan alasan yang diseret di belakangnya. Kebanyakan kriminil kelas teri tetap miskin hampir seumur hidup dengan menyandang nama buruk, sementara kriminil kelas kakap hidup mewah dan tidak pernah menjadi seburuk maling ayam. Dia mungkin memilih jadi kriminil kelas teri lantaran hal-hal yang rumit seperti yang dialami jutaan orang di negeri en ka er i ini. Aku sendiri pernah maling, pernah melakukan kejahatan-kejahatan, dan aku bisa merasakan dorongan semacam itu hanyalah naluri biasa dalam seorang yang merasa lapar. Makanya, aku tidak berani menyalahkan dia yang memilih jadi kriminil kelas teri, hanya selalu disayangkan bahwa dalam darah Gilang dan adik-adiknya mengalir darah yang "tercemar" barang curian. Ini juga bukan kesalahan besar layaknya korupsi, namun bagi para kriminil kelas teri, juga semacam aku ini, memberi anak-anak makan dari hasil keringat yang berbau busuk tentu kurang layak.

Tapi, sudahlah. Di Jakarta dia bisa menghilang dan tidak perlu merasa berdosa secara berlebihan. Toh, di sini banyak kumpulan penjahat kelas kakap, penjahat-penjahat yang tidak pernah merasa berbuat jahat atas kejahatan besar yang mereka lakukan dengan sadar dan penuh intelektualitas, bahkan mereka melakukannya setelah menyelesaikan S1 atau bahkan S2 dan S3.... (Sekolah memang bukan soal moral, melainkan pragmatisme)

Pondok Kelapa